Rabu, 21 Oktober 2020

DAUN ITU TELAH MENGUNING

 

Gambar: Ilustrasi

Pagi itu, perahu telah membawaku merayap ke tempat yang biasa kukunjungi untuk mengais keberuntungan. Di sana aku biasa mendapat bulir-bulir kehidupan untuk nafas-nafas yang menantiku pulang. Aku tak pernah jenuh menjalaninya, meski keringat terus menetes dan tulangku gemeretak ngilu. Sebuah kesenangan rutin ketika menatap cahaya yang mengintip di timur, lalu berkejaran di antara perahu-perahu berkaki dua yang memburu di sampingku dan di depanku.

Hari ini, dia berada tak jauh dariku Ya, dia yang telah banyak memakan asam dan garam itu selalu ada dalam diam. Tak banyak suara yang terdengar dari mulutnya. Perjalanannya sudah panjang dan jauh. Kini dia hanya bergerak dan membisu. Mungkin dia merasa jenuh atas perjalanannya yang jauh itu. 

Dia kesepian di tengah hari-harinya yang selalu sama. Ketika melihatnya, aku tersadar dan diam termangu. Pikiranku mulai liar menari-nari tak menentu. Aku mulai bertanya pada diriku, apakah aku akan melalui waktu seperti perjalanannya itu? Membayangkannya saja, aku langsung menutup wajahku.

Pada titik ini, aku menalar diriku dan mencoba membanding-bandingkan. Aku mungkin tak sekuat dirinya yang tegak berdiri menatap masa depannya. Entahlah, masa depannya itu mungkin hanya sebentar lagi. Sang Pemilik Kebun mungkin akan memanen dirinya. Aku tak tahu persis, sudah berapa banyak buah dia hasilkan, entah sudah berapa mulut yang merasa kenyang dibuatnya. Yang kutahu, dia telah berbuah banyak. Aku tersadar, mungkin inilah garis waktu itu.

Dia mulai berkata-kata dan terus bicara. Semakin lama, suaranya semakin melemah, serak dan akhirnya hilang dalam kesunyian. Tanpa bisa dibendung, sebuah tetesan meluncur kencang dari pelupuk matanya menuju bumi. “Aku kesepian,” katanya. “Aku tidak memiliki teman untuk berbicara. Bibirku hampir melekat karena diam. Suaraku mengendap mendekati bumi.” Ya, dia berada tak jauh dariku. 

Aku menghampirinya sambil tersenyum dan melempar lelucon yang bagiku pun tak terasa lucu. Tapi, tahukah kamu, dia tersenyum sambil memamerkan “pagar” tua nya yang sudah rapuh itu. Hal itu sudah sangat jelas mengartikan betapa senangnya dirinya. 

Aku tak punya perbendaharaan kata emas yang cukup untuk kuberikan padanya. Sebagai gantinya, aku mencondongkan telingaku ke arahnya dan memanjakan telingaku untuk menyambut rangkaian kata yang terucap dari mulutnya.

“Aku telah layu, menguning dan waktuku tak banyak. Aku lelah dan hatiku terasa terpanah. Tapi aku tak bisa marah,” lirihnya lemah. Dia memberi jarak yang panjang pada tiap kata yang diucapkannya. Aku melihatnya pasrah tapi tertekan. 

Aku merasa, lumbung rasanya mungkin telah penuh dan tak mampu menahan lagi. Mulutku tersenyum dan  terkunci, tapi telingaku tidak. Telingaku telah menjadi corong pembuangan sesahnya, entah kemana. Mungkin seterusnya tapi sebentar.

Refleksi Batin

Usia senja yang bahagia tak selalu menjadi milik semua orang. Laki-laki berusia senja itu tertawa tapi hatinya tidak. Saya menangkap kesan ketidakbahagiaan dalam dirinya. Dia berusaha keluar dari situasinya, tapi tampaknya selalu sulit. Dia terus berjuang untuk mempersembahkan hari tuanya dalam kedamaian. Saya melihat ia merangkai doa kepada Sang Pemilik Kebun, tapi entah apa yang dikatakannya. Tapi saya yakin, itu akan lebih menenangkannya. Semoga.


Percikan malam, 21 Oktober 2020, Pk. 00.17 WIB.

(Foto: Ilustrasi)

9 komentar:

  1. Bagus pak, makin keren saja ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. trimakasih pak, masih perlu belajar banyak πŸ™

      Hapus
  2. Saya suka baca mas Chris πŸ‘‹ sekedar saran ya kalau boleh isi kalimat dalam satu paragraf dikurangi dikit biar lebih nyaman membacaπŸ‘‹πŸ‘‹πŸ‘‹

    BalasHapus
  3. Mungkin ngetiknya asyik gitu πŸ™‚ ide mengalir ndak terasa kalimat jadi banyak. Maaf saya sendiri kalau nulis mirip juga, paragraf nya padat πŸ™‚πŸ‘‹πŸ™πŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap, trims byk sarannya ibu. Memang tengah malam asik sendiri kalau menulis. Editnya biasanya belakangan hehe...

      Hapus
  4. Tulisan yang sangat menggugah, Pak Chris. πŸ‘

    BalasHapus
  5. suatu saat kita akan tua dan mengalaminya. Tapi belum tentu sama sih. Bagus buat bahan renungan pribadi.

    BalasHapus
  6. saya jadi tergelitik, ngga kebayang kalau tua nanti bagaimana. Jadinya berkaca diri, ibarat pohon, sudah menghasilkan apa untuk orang lain...

    BalasHapus
  7. Ceritanya inspiratif. Semoga ada cerita berikutnya.

    BalasHapus