Ketika saya masih kecil, sebuah pengalaman lucu pernah saya alami bersama keluarga. Ketika itu, kami sekeluarga akan makan bersama, dan seluruh makan sudah terhidang di atas tikar diterangi sebuah lampu “teplok”. Ya, sudah merupakan kebiasaan kami untuk duduk dan makan di atas tikar. Itu tradisi yang kami terima dari orangtua dan kakek nenek.
Setelah selesai berdoa, makanan mulai
dibagikan dan siap disantap. Di tengah penerangan yang seadanya itu, tiba-tiba
bapak saya berujar kaget, “Wah, koq tawar. Ngga ada garamnya nih.” Sontak kami
mencicipi hidangan kami masing-masing. Benar, rasanya tawar, tidak ada rasa
garam sedikitpun. Tak lama, ibu langsung
mengaduk garam pada secangkir air panas dan mencampur ke dalam sayur. Rasa
sayur itu memang menjadi nikmat setelah itu.
Garam
Bagi masyarakat khususnya para ibu,
garam sudah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam berbagai keperluan terutama dalam
hal penyajian hidangan.
Tidak diketahui pasti kapan penggunaan
garam pada makanan dilakukan pertama kali. Yang pasti, kebiasaan mencampurkan
garam pada makanan telah dilakukan turun temurun. Garam yang disebut dengan
garam dapur diyakini menjadi salah satu bumbu dapur yang dapat menyedapkan masakan.
Para ahli telah melakukan penelitian atas kandungan yang terdapat pada garam. Pada garam dapur terkandung unsur sodium dan chlor (NaCl). Unsur sodium memiliki manfaat sangat penting bagi tubuh untuk mengatur proses keseimbangan cairan di dalam tubuh. Sodium berfungsi mengatur kelancaran proses transmisi saraf dan kerja otot.
Meskipun garam memiliki fungsi dan manfaat yang sangat baik, tidak
berarti penggunaannya dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak. Garam selalu
digunakan dalam takaran jumlah yang sedikit dibandingkan porsi makanan yang
disajikan.
Penambahan garam pada makanan akan menghadirkan cita rasa yang nikmat
pada makanan. Meskipun takarannya sedikit, garam selalu dibutuhkan. Tidak
banyak, karena jika digunakan dalam takaran yang banyak, justru akan semakin merusak
cita rasa makanan itu sendiri.
Tidak hanya itu, pengolahan garam pun harus tepat. Artinya, garam harus
dilarutkan untuk memperoleh rasa yang merata pada seluruh makanan. Dapat dibayangkan
jika garam tersebut menggumpal dan mengeras di dalam makanan, tentu tidak dapat
memberi rasa pada makanan itu.
Terang
Sebuah cahaya akan menghasilkan terang. Cahaya berasal dari berbagai
sumber cahaya. Besar kecilnya cahaya bergantung pada kebutuhan manusia sendiri.
Dalam kondisi-kondisi tertentu seperti
pengalaman masa kecil saya di atas, kebutuhan akan penerangan tidak selalu
dapat dicapai. Misalnya ketika listrik mati, tak banyak yang dapat dilakukan selain
menyalakan lilin. Meskipun sedikit, cahaya pada lilin mampu memberi penerangan
yang cukup untuk keadaan di sekitarnya.
Untuk memperoleh penerangan yang cukup,
lilin harus diletakkan pada tempat yang lebih tinggi dari lantai. Namun,
tempatnya juga tidak terlalu tinggi agar cahayanya mencapai lantai dengan baik.
Bentuk lilin yang bermacam-macam
menentukan waktu yang dibutuhkan sebuah lilin untuk menerangi sebuah tempat. Lilin
yang menyala tidak akan pernah utuh lagi. Secara perlahan-lahan, lilin akan
meleleh dan habis dengan sendirinya karena terbakar api yang menyala pada sumbu
lilin itu.
Lilin terbuat dari bahan parafin yang
berasal dari minyak bumi. Sebelum abad ke-19, lilin dibuat dari lemak sapi yang
mengandung asam stearate.
Eksistensi Garam
dan Lilin
Dalam konteks eksistensinya, manusia
diharapkan dapat menjadi garam dan lilin itu. Eksistensi adalah suatu hal yang
dilakukan manusia untuk menunjukkan keberadaannya atau siapa dirinya. Sebuah pencapaian
yang seharusnya bisa dilakukan oleh manusia sebagai ciptaan.
Baik garam maupun lilin menggambarkan
kodrat asali manusia ketika diciptakan oleh Sang Pencipta. Penggunaan dan
kondisi yang ditunjukkan oleh garam dan lilin menunjukkan eksistensi manusia
dalam statusnya sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Secara
fisik, garam dan lilin merupakan bahan yang mudah hancur lebur. Demikian pula manusia,
secara kodrati merupakan makhluk yang rapuh dan fana. (Baca juga: Dari Debu Kembali Menjadi Debu). Maka manusia memiliki batas waktu hidup dan kerentanan secara
fisik. Misalnya, manusia dapat mengalami sakit, terluka dan berdarah, dan
meninggal.
Makna Filosofis Garam
Manusia yang menjadi garam bagi orang
lain, dapat memberi rasa yang maksimal. Rasa asin pada garam menyimbolkan sikap
baik yang dimiliki oleh manusia. Porsi garam menggambarkan upaya, karya dan
dedikasi minimal yang seharusnya dapat dilakukan manusia dalam relasi sosialnya
dengan sesamanya.
Bandingkanlah, tidak banyak garam yang
diberikan pada semangkuk sayur. Meskipun sedikit, garam mampu memberi rasa
nikmat pada sayur itu dan bagi banyak orang.
Garam juga harus melebur dan larut ke dalam makanan. Ia tidak mengeraskan diri. Garam juga tidak menggarami garam. Hal itu bermakna bahwa manusia mampu membaur bagi sesamanya tanpa pandang asal usul, pangkat dan golongan. Eksistensi garam adalah adalah eksistensi manusia itu sendiri.
Makna Filosofis Terang
Tidak berbeda dengan sebuah lilin. Dalam
kerapuhannya, ia mampu memberi penerangan bagi lingkungannya. Cahaya pada lilin adalah gambaran pengaruh
baik yang ditunjukkan sebuah pribadi bagi orang lain.
Terang selalu dikonotasikan sebagai hal
yang bermakna baik dan positif. Gelap selalu dikonotasikan sebagai hal yang
bermakna buruk. Memberi terang akan selalu dimaknai sebagai tindakan memberi
kebaikan. Sebaliknya, memberi kegelapan dimaknai sebagai tindakan memberi
pengaruh keburukan.
Tidak ada orang yang akan menolak
pengaruh baik. Semua orang membutuhkannya karena pada dasarnya manusia
membutuhkan kebaikan itu. Cahaya lilin tidak besar, dan jangkauannya juga tidak
luas. Hal itu menggambarkan eksistensi minimal yang seharusnya bisa dilakukan
manusia untuk memberi pengaruh baik bagi lingkungannya.
Seorang pribadi harus tampil sedikit
lebih tinggi agar terangnya atau pengaruh baiknya dapat menjangkau lebih luas. Perhatikanlah
jangkauan terang sebuah lilin jika berada di lantai dan berada di atas meja. Hal
ini berarti, seorang pribadi manusia, harus mampu tampil untuk menyampaikan
hal-hal baik bagi lingkungannya.
Lilin yang berada di lantai menunjukkan
orang yang hanya menerangi dirinya sendiri. Ia membuat dirinya menjadi sentral
atau pusat perhatian. Ia tidak peduli pada kegelapan yang dialami sekitarnya.
Usaha menampilkan terang dapat dilakukan
dalam berbagai hal yang sederhana. Misalnya, menunjukkan diri sebagai pribadi
yang ramah, rendah hati, motivator, teladan, suka menolong dan menjadi pribadi
yang bermanfaat bagi orang lain.
Insight
Penting
sekali menyadari diri sebagai ciptaan dan menghargai sesama ciptaan. Bukankah
ciptaan lainnya merupakan saudara sesama ciptaan. Itulah tugas manusia yang
dibekali akal budi oleh Sang Pencipta.
Eksistensi
minimal sebuah pribadi bukanlah hal yang mustahil karena manusia memiliki akal
budi dan hati nurani untuk melakukannya.
Semoga
refleksi ini membuat kita menyadari keberadaan kita sebagai pribadi yang
bermanfaat bagi banyak orang di sekitar kita.
Salam literasi.
Oke sip,... Lanjutkan!
BalasHapusBenar banget.
BalasHapus