Minggu, 20 Desember 2020

TANTANGAN HIDUP PERKAWINAN di KOTA MEGAPOLITAN

 

Tantangan Realita

Kehidupan kota besar dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat merangsang masyarakatnya untuk bergerak seirama dengannya. Masuknya budaya baru sebagai akibat perkembangan teknologi informasi, perlahan dapat mengubah pola pikir masyarakatnya. 

Imbas perubahan pola pikir masyarakat dapat mencakup berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Di satu sisi, pemahaman masyarakat tentang hidup perkawinan semakin memudar. Pengaruh globalisasi dan hadirnya budaya baru dari luar turut mempengaruhi cara pandang masyarakat. Konsep perkawinan dipandang sebagai sebuah perjanjian yang dapat menguntungkan salah satu pihak. Perkawinan dapat dibatalkan apabila salah satu pihak merasa dirugikan.  

Tantangan lain juga ditunjukkan dengan perilaku hidup bebas tanpa ikatan yang dilakukan salah satu pasangan atau bersama-sama yang terikat dalam suatu hubungan perkawinan.  Hal lain, kehadiran seorang anak seringkali dijadikan alasan dan pembenaran untuk memperkuat kesetiaan dalam perkawinan. Dalam contoh kisah keluarga di atas, ketidakhadiran anak dalam relasi perkawinan memicu lahirnya ketidaksetiaan antar pasangan. Perkawinan dianggap memiliki nilai yang baik bila ditandai dengan kehadiran anak di antara pasangan.

Pandangan Sosial Masyarakat

Dalam pandangan umum, masyarakat menganggap bahwa tidak ada  kehidupan perkawinan yang sempurna. Kehidupan perkawinan seringkali mengalami rintangan dan tantangan. Maka, dalam hidup perkawinan, pasangan memerlukan komitmen bersama  dari kedua belah pihak agar bersama-sama melewatinya dengan baik. Kesulitan dan kebaikan dialami dan diatasi bersama-sama.

Sebuah artikel media sosial menyebutkan bahwa persoalan yang umum terjadi dalam hidup perkawinan umumnya berkisar pada persoalan-persoalan seperti komunikasi yang terhambat, seksualitas, pembagian tugas, keuangan keluarga, eksploitasi dan perasaan dimanfaatkan serta perselingkuhan. 

Salah seorang penulis, Annabella Siahaan, berpendapat bahwa komunikasi yang terhambat dapat mengikis relasi pasangan. Selain itu pasangan perlu menghindari kata-kata yang menjurus kepada generalisasi seperti “kamu selalu …”, “kamu tidak pernah …”. Pasangan hendaknya menyediakan waktu yang cukup untuk berkomunikasi tanpa melibatan sikap emosi dan menginterupsi pembicaraan satu sama lain. Pasangan perlu menenangkan diri sejenak bila tidak mampu mengatakan hal-hal yang dapat memberbaiki situasi.

Persoalan lain yang dapat menjadi pemicu pertengkaran bahkan perpisahan pasangan adalah masalah seksualitas. Persoalan ini juga dapat merambat pada persoalan-persoalan lainnya. Tuntutan pekerjaan dan jadwal yang padat seperti rutinitas pekerjaan kantor dan di rumah, mengurus anak sangat menyita perhatian. Pasangan disarankan untuk membahas ekspektasi masing-masing mengenai pembagian tanggung jawab di rumah yang baik bagi semua pihak.

Persoalan keuangan keluarga pun dapat mempengaruhi kebaikan hidup perkawinan. Tidak dipungkiri, keuangan keluarga itu kompleks. Pasangan diharapkan dapat duduk bersama untuk mengenali situasi keuangan keluarga dengan baik. Sistem budgeting keuangan keluarga perlu dibuat dan disepakati bersama dengan memperhatikan gaya hidup dan penggunaan uang yang efektif.

Konflik perkawinan karena ketidaksetiaan pasangan tampaknya sangat lazim terjadi di tengah-tengah hidup perkawinan. Alasannya pun bermacam-macam. Meskipun demikian, apapun alasannya, pasangan hendaknya berusaha menemukan penyebab persoalan yang terjadi untuk memperbaiki hubungan perkawinan. Menurut Annabella, masing-masing pasangan bertanggung jawab atas perbuatan sebelum perselingkuhan itu terjadi dan ketidaksetiaan yang dilakukan. Sikap penyesalan dan mau memperbaiki hubungan kembali perlu dibangun dengan komitmen tinggi. Tentu saja, pasangan yang berselingkuh harus mampu menunjukkan penyesalan yang serius dan mengembalikan kepercayaan pasangan.

 (Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2488950/8-permasalahan-umum-dalam-perkawinan-dan-cara-mengatasinya


Tinjauan Biblis dan Gaudium Evangelii

Gereja Katolik telah secara tegas, menyatakan pandangannya tentang hakekat perkawinan yang satu dan tak terpisahkan kecuali oleh kematian. Gereja juga menegaskan tujuan perkawinan untuk kebaikan pasangan, kelahiran dan pendidikan anak. Namun, dalam konteks umat di kota megapolitan, kehidupan perkawinan menemukan tantangan-tantangannya.Di zaman sekarang kebanyakan orang menjalani hidup yang berat dari hari ke hari dengan kondisi  yang sangat buruk. Kondisi yang sangat buruk tidak saja dipandang secara ekonomi saja tetapi secara moral, sosial dan spiritual. Hati banyak orang dilanda rasa takut dan putus asa, kegembiraan hidup yang memudar, kurangnya rasa hormat kepada sesama. Orang harus berjuang untuk hidup, dan seringkali hidup dengan sedikit martabat manusia (EG, Art.52).

Keprihatinan yang terus terjadi adalah cara pandang manusia memandang manusia lainnya sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian dibuang. Saat ini tercipta budaya “sekali pakai buang”. Istilah ini tidak lagi menyangkut eksploitasi dan penindasan, melainkan hal yang baru (EG, Art.53). Ada pasangan pria dan wanita yang terikat dalam hidup perkawinan  melupakan komitmen, hakekat dan tujuan perkawinannya. Salah satu atau keduanya mencintai pasangannya atas dasar manfaat. Ketika salah satu atau keduanya “merasa” tidak memperoleh manfaat, maka ia memperlakukan pasangannya sebagai orang buangan atau  “sampah yang dibuang.” Kisah yang diceritakan pada nomor 1 di atas menunjukkan manusia telah kehilangan etikanya.

Sikap ini yang ditunjukkan manusia menunjukkan penolakan terhadap etika sekaligus penolakan terhadap Allah. Etika dianggap terlalu klise dan menjadi ancaman karena membatasi kebebasan manusia (EG, art.64). Evangelii Gaudium Artikel 57 menyebutkan bahwa sesungguhnya, etika mengarah kepada Allah yang meminta tanggapan manusia untuk berkomitmen karena Dia memanggil manusia kepada perwujudan diri yang penuh dan pembebasan dari segala bentuk perbudakan.

Dalam konteks pewartaan iman, disadari atau tidak, umat beriman patut menyadari dan mengakui bahwa sebagian umat Kristiani kurang memiliki sense of belonging terhadap Gereja. Hal ini dapat berarti pula bahwa umat telah mulai kehilangan semangat Kristus dalam dirinya.  Kondisi ini dapat disebabkan  oleh kondisi-kondisi yang tidak bersahabat di komunitas gerejani, atau pendekatan birokratis atas penanganan permasalahan umat. Di beberapa tempat, pendekatan administratif lebih ditekankan daripada pendekatan pastoral, termasuk pada pelayanan sakramen tanpa melalui bentuk pewartaan Injil (EG, art. 63).

Di satu sisi, kehidupan modern zaman sekarang cenderung menggerus iman umat. Umat semakin melupakan dan tidak menempatkan Allah sebagai prioritas utama. Manusia menciptakan berhalanya masing-masing. Di sisi lain, secara kontradiktif sebagian umat memiliki iman yang privat dan personal. Umat merasa memiliki kebenaran-kebenaran dan mulai menghakimi sesamanya dengan mudah. Semua itu semakin mendorong kemerosotan etika, melemahnya makna dosa pribadi dan kolektif (lih. EG, art.64).

Lebih jauh, Evangelii Gaudium Artikel 66 mengatakan bahwa saat ini keluarga sedang mengalami krisis budaya yang luar biasa. Dalam beberapa kasus keluarga, relasi khas dalam perkawinan semakin luntur.  Perkawinan masa kini cenderung dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat dan ungkapan kepuasan emosional yang dapat dibentuk atau diubah menurut keinginannya.  

Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai sebuah komitmen  dan kesediaan tulus pasangan secara bersama-sama untuk hidup bersama yang lahir dari perasaan cinta yang mendalam. Sebagai sel dasar masyarakat, setiap individu dalam keluarga hendaknya belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama lain.

Evangelii Gaudium Artikel 67 juga mengatakan bahwa stabilitas hubungan antar-pribadi  semakin dilemahkan oleh sikap individualism. Sikap itu juga semakin menghalangi ikatan-ikatan dalam keluarga. Paus mendorong agar kegiatan-kegiatan pastoral perlu menampilkan relasi manusia dengan Allah bagaikan relasi anak dengan Bapanya. Relasi demikianlah yang mampu menyembuhkan, mendukung dan meneguhkan ikatan-ikatan antarpribadi. 

Umat Kristiani hendaknya meneguhkan niat untuk menghormati sesamanya, menyembuhkan yang terluka, memediasi, memperkuat relasi  dan dan “bertolong-tolongan menanggung beban” (Gal. 6:2). Dalam konteks hidup perkawinan, pasangan itu bukan lagi melainkan satu. Karena apa yang telah disatukan Allah hendaknya tidak diceraikan oleh manusia (Matius 19:6).

Dalam Evangelii Gaudium artikel 71 disebutkan bahwa kota suci Yerusalem baru merupakan tujuan setiap manusia. Dalam konteks perkawinan, Yerusalem baru yang dimaksud adalah tujuan perkawinan, yaitu situasi tempat manusia itu mengarahkan dirinya dan Allah sebagai kompasnya. 

Kehadiran Allah itu harus menjadi hasrat atau keinginan mendalam dari pasangan itu. “Perubahan –perubahan budaya baru senantiasa lahir dalam wilayah kediaman manusia yang sangat besar ini dimana umat Kristiani biasanya tidak lagi menjadi penafsir atau pembangkit makna (EG, Art.73).’’ Bercermin dan belajar dari contoh kehidupan perkawinan di atas, perkawinan dan keluarga hendaknya menjadi wilayah dan ruang-ruang doa dimana Allah hadir di dalamnya

Santo Thomas Aquinas semakin menegaskan peran kasih di dunia ini. Ia mengatakan, “Dalam dirinya sendiri belas kasih adalah yang terbesar dari segala keutamaan, ciri khasnya ialah memberi kepada yang lain dan, lebih daripada ini, melengkapi kekurangan-kekurangan dari yang lain.” Hal ini berlaku pula dalam relasi perkawinan yang sejati. Kasih mendorong manusia agar saling melengkapi kekurangan satu sama lain (EG, Art. 37). 

 

Refleksi

Dalam hidup perkawinan, setiap pasangan perlu menjalin komunikasi yang baik. Relasi yang terbangun atas dasar cinta itu disaksikan oleh Allah. Demikian pula hendaknya relasi dengan Allah juga harus dibangun dan dijaga sedemikian rupa. Kehadiran Allah akan membantu pasangan untuk menemukan makna dalam hidup perkawinan mereka. 

Hendaklah itu menjadi hasrat atau keinginan mendalam dari setiap pasangan itu. Allah tak akan menyembunyikan diri-Nya bagi mereka yang sungguh mencari-Nya. Bercermin dan belajar dari contoh kehidupan perkawinan di atas, perkawinan dan keluarga hendaknya menjadi wilayah dan ruang-ruang doa dimana Allah hadir di dalamnya

Makna hidup yang menyatukan dan utuh sebagaimana ditawarkan oleh Injil adalah obat terbaik bagi luka-luka setiap insan. Kita harus menyadari bahwa program yang seragam dan kaku dari pewartaan iman tidak selalu sesuai dengan realita yang kompleks ini. Namun, usaha menghayati kehidupan dalam keluarga dan mengahadapi setiap tantangan sebagai ragi saksi Injil akan membut kita menjadi umat Kristiani yang lebih baik dan menghasilkan buah di mana pun kita berada. (())

Tidak ada komentar:

Posting Komentar