Tantangan Realita
Kehidupan kota besar dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat merangsang masyarakatnya untuk bergerak seirama dengannya. Masuknya budaya baru sebagai akibat perkembangan teknologi informasi, perlahan dapat mengubah pola pikir masyarakatnya.
Imbas perubahan pola pikir masyarakat dapat mencakup berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Di satu sisi, pemahaman masyarakat tentang hidup perkawinan semakin memudar. Pengaruh globalisasi dan hadirnya budaya baru dari luar turut mempengaruhi cara pandang masyarakat. Konsep perkawinan dipandang sebagai sebuah perjanjian yang dapat menguntungkan salah satu pihak. Perkawinan dapat dibatalkan apabila salah satu pihak merasa dirugikan.
Tantangan lain juga ditunjukkan dengan perilaku hidup bebas tanpa ikatan yang dilakukan salah satu pasangan atau bersama-sama yang terikat dalam suatu hubungan perkawinan. Hal lain, kehadiran seorang anak seringkali dijadikan alasan dan pembenaran untuk memperkuat kesetiaan dalam perkawinan. Dalam contoh kisah keluarga di atas, ketidakhadiran anak dalam relasi perkawinan memicu lahirnya ketidaksetiaan antar pasangan. Perkawinan dianggap memiliki nilai yang baik bila ditandai dengan kehadiran anak di antara pasangan.
Pandangan Sosial Masyarakat
Dalam
pandangan umum, masyarakat menganggap bahwa tidak ada kehidupan perkawinan yang sempurna. Kehidupan
perkawinan seringkali mengalami rintangan dan tantangan. Maka, dalam hidup
perkawinan, pasangan memerlukan komitmen bersama dari kedua belah pihak agar bersama-sama
melewatinya dengan baik. Kesulitan dan kebaikan dialami dan diatasi
bersama-sama.
Sebuah artikel media sosial menyebutkan bahwa persoalan yang umum terjadi dalam hidup perkawinan umumnya berkisar pada persoalan-persoalan seperti komunikasi yang terhambat, seksualitas, pembagian tugas, keuangan keluarga, eksploitasi dan perasaan dimanfaatkan serta perselingkuhan.
Salah seorang penulis, Annabella Siahaan, berpendapat bahwa komunikasi yang terhambat dapat mengikis relasi pasangan. Selain itu pasangan
perlu menghindari kata-kata yang menjurus kepada generalisasi seperti “kamu
selalu …”, “kamu tidak pernah …”. Pasangan hendaknya menyediakan waktu yang
cukup untuk berkomunikasi tanpa melibatan sikap emosi dan menginterupsi
pembicaraan satu sama lain. Pasangan perlu menenangkan diri sejenak bila tidak
mampu mengatakan hal-hal yang dapat memberbaiki situasi.
Persoalan lain
yang dapat menjadi pemicu pertengkaran bahkan perpisahan pasangan adalah
masalah seksualitas. Persoalan ini juga dapat merambat pada persoalan-persoalan
lainnya. Tuntutan pekerjaan dan jadwal yang padat seperti rutinitas pekerjaan
kantor dan di rumah, mengurus anak sangat menyita perhatian. Pasangan
disarankan untuk membahas ekspektasi masing-masing mengenai pembagian tanggung
jawab di rumah yang baik bagi semua pihak.
Persoalan
keuangan keluarga pun dapat mempengaruhi kebaikan hidup perkawinan. Tidak
dipungkiri, keuangan keluarga itu kompleks. Pasangan diharapkan dapat duduk
bersama untuk mengenali situasi keuangan keluarga dengan baik. Sistem budgeting
keuangan keluarga perlu dibuat dan disepakati bersama dengan memperhatikan gaya
hidup dan penggunaan uang yang efektif.
Konflik
perkawinan karena ketidaksetiaan pasangan tampaknya sangat lazim terjadi di
tengah-tengah hidup perkawinan. Alasannya pun bermacam-macam. Meskipun
demikian, apapun alasannya, pasangan hendaknya berusaha menemukan penyebab
persoalan yang terjadi untuk memperbaiki hubungan perkawinan. Menurut
Annabella, masing-masing pasangan bertanggung jawab atas perbuatan sebelum
perselingkuhan itu terjadi dan ketidaksetiaan yang dilakukan. Sikap penyesalan
dan mau memperbaiki hubungan kembali perlu dibangun dengan komitmen tinggi.
Tentu saja, pasangan yang berselingkuh harus mampu menunjukkan penyesalan yang
serius dan mengembalikan kepercayaan pasangan.
Tinjauan Biblis dan Gaudium Evangelii
Gereja Katolik telah secara tegas, menyatakan
pandangannya tentang hakekat perkawinan yang satu dan tak terpisahkan kecuali
oleh kematian. Gereja juga menegaskan tujuan perkawinan untuk kebaikan
pasangan, kelahiran dan pendidikan anak. Namun, dalam konteks umat di kota
megapolitan, kehidupan perkawinan menemukan tantangan-tantangannya.Di zaman sekarang kebanyakan orang menjalani hidup
yang berat dari hari ke hari dengan kondisi
yang sangat buruk. Kondisi yang sangat buruk tidak saja dipandang secara
ekonomi saja tetapi secara moral, sosial dan spiritual. Hati banyak orang
dilanda rasa takut dan putus asa, kegembiraan hidup yang memudar, kurangnya
rasa hormat kepada sesama. Orang harus berjuang untuk hidup, dan seringkali
hidup dengan sedikit martabat manusia (EG, Art.52).
Keprihatinan
yang terus terjadi adalah cara pandang manusia memandang manusia lainnya
sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian dibuang. Saat ini
tercipta budaya “sekali pakai buang”. Istilah ini tidak lagi menyangkut
eksploitasi dan penindasan, melainkan hal yang baru (EG, Art.53). Ada pasangan
pria dan wanita yang terikat dalam hidup perkawinan melupakan komitmen, hakekat dan tujuan
perkawinannya. Salah satu atau keduanya mencintai pasangannya atas dasar
manfaat. Ketika salah satu atau keduanya “merasa” tidak memperoleh manfaat,
maka ia memperlakukan pasangannya sebagai orang buangan atau “sampah yang dibuang.” Kisah yang diceritakan
pada nomor 1 di atas menunjukkan manusia telah kehilangan etikanya.
Sikap
ini yang ditunjukkan manusia menunjukkan penolakan terhadap etika sekaligus
penolakan terhadap Allah. Etika dianggap terlalu klise dan menjadi ancaman karena
membatasi kebebasan manusia (EG, art.64). Evangelii
Gaudium Artikel 57 menyebutkan bahwa sesungguhnya, etika mengarah kepada
Allah yang meminta tanggapan manusia untuk berkomitmen karena Dia memanggil
manusia kepada perwujudan diri yang penuh dan pembebasan dari segala bentuk
perbudakan.
Dalam
konteks pewartaan iman, disadari atau tidak, umat beriman patut menyadari dan
mengakui bahwa sebagian umat Kristiani kurang memiliki sense of belonging terhadap Gereja. Hal ini dapat berarti pula
bahwa umat telah mulai kehilangan semangat Kristus dalam dirinya. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi yang tidak bersahabat di
komunitas gerejani, atau pendekatan birokratis atas penanganan permasalahan
umat. Di beberapa tempat, pendekatan administratif lebih ditekankan daripada
pendekatan pastoral, termasuk pada pelayanan sakramen tanpa
melalui bentuk pewartaan Injil (EG, art. 63).
Di satu sisi, kehidupan
modern zaman sekarang cenderung menggerus iman umat. Umat semakin melupakan dan
tidak menempatkan Allah sebagai prioritas utama. Manusia menciptakan berhalanya
masing-masing. Di sisi lain, secara kontradiktif sebagian umat memiliki iman
yang privat dan personal. Umat merasa memiliki kebenaran-kebenaran dan mulai
menghakimi sesamanya dengan mudah. Semua itu semakin mendorong kemerosotan
etika, melemahnya makna dosa pribadi dan kolektif (lih. EG, art.64).
Lebih jauh, Evangelii Gaudium Artikel 66 mengatakan bahwa saat ini keluarga sedang mengalami krisis budaya yang luar biasa. Dalam beberapa kasus keluarga, relasi khas dalam perkawinan semakin luntur. Perkawinan masa kini cenderung dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat dan ungkapan kepuasan emosional yang dapat dibentuk atau diubah menurut keinginannya.
Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai sebuah
komitmen dan kesediaan tulus pasangan
secara bersama-sama untuk hidup bersama yang lahir dari perasaan cinta yang
mendalam. Sebagai sel dasar masyarakat, setiap individu dalam keluarga
hendaknya belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama lain.
Evangelii Gaudium Artikel 67 juga mengatakan bahwa stabilitas hubungan antar-pribadi semakin dilemahkan oleh sikap individualism. Sikap itu juga semakin menghalangi ikatan-ikatan dalam keluarga. Paus mendorong agar kegiatan-kegiatan pastoral perlu menampilkan relasi manusia dengan Allah bagaikan relasi anak dengan Bapanya. Relasi demikianlah yang mampu menyembuhkan, mendukung dan meneguhkan ikatan-ikatan antarpribadi.
Umat Kristiani hendaknya meneguhkan niat untuk menghormati sesamanya,
menyembuhkan yang terluka, memediasi, memperkuat relasi dan dan “bertolong-tolongan menanggung beban”
(Gal. 6:2). Dalam konteks hidup perkawinan, pasangan itu bukan lagi melainkan
satu. Karena apa yang telah disatukan Allah hendaknya tidak diceraikan oleh
manusia (Matius 19:6).
Dalam Evangelii Gaudium artikel 71 disebutkan bahwa kota suci Yerusalem baru merupakan tujuan setiap manusia. Dalam konteks perkawinan, Yerusalem baru yang dimaksud adalah tujuan perkawinan, yaitu situasi tempat manusia itu mengarahkan dirinya dan Allah sebagai kompasnya.
Kehadiran
Allah itu harus menjadi hasrat atau keinginan mendalam dari pasangan itu.
“Perubahan –perubahan budaya baru senantiasa lahir dalam wilayah kediaman
manusia yang sangat besar ini dimana umat Kristiani biasanya tidak lagi menjadi
penafsir atau pembangkit makna (EG, Art.73).’’ Bercermin dan belajar dari contoh
kehidupan perkawinan di atas, perkawinan dan keluarga hendaknya menjadi
wilayah dan ruang-ruang doa dimana Allah hadir di dalamnya
Santo Thomas Aquinas
semakin menegaskan peran kasih di dunia ini. Ia mengatakan, “Dalam dirinya
sendiri belas kasih adalah yang terbesar dari segala keutamaan, ciri khasnya
ialah memberi kepada yang lain dan, lebih daripada ini, melengkapi
kekurangan-kekurangan dari yang lain.” Hal ini berlaku pula dalam relasi
perkawinan yang sejati. Kasih
mendorong manusia agar saling melengkapi kekurangan satu sama lain (EG, Art.
37).
Refleksi
Dalam hidup perkawinan, setiap pasangan perlu menjalin komunikasi yang baik. Relasi yang terbangun atas dasar cinta itu disaksikan oleh Allah. Demikian pula hendaknya relasi dengan Allah juga harus dibangun dan dijaga sedemikian rupa. Kehadiran Allah akan membantu pasangan untuk menemukan makna dalam hidup perkawinan mereka.
Hendaklah itu menjadi hasrat atau keinginan mendalam dari setiap pasangan
itu. Allah tak akan menyembunyikan diri-Nya bagi mereka yang sungguh mencari-Nya.
Bercermin dan belajar dari contoh kehidupan perkawinan di atas, perkawinan
dan keluarga hendaknya menjadi wilayah dan ruang-ruang doa dimana Allah hadir
di dalamnya
Makna hidup
yang menyatukan dan utuh sebagaimana ditawarkan oleh Injil adalah obat terbaik
bagi luka-luka setiap insan. Kita harus menyadari bahwa program yang seragam
dan kaku dari pewartaan iman tidak selalu sesuai dengan realita yang kompleks
ini. Namun, usaha menghayati kehidupan dalam keluarga dan mengahadapi setiap
tantangan sebagai ragi saksi Injil akan membut kita menjadi umat Kristiani yang
lebih baik dan menghasilkan buah di mana pun kita berada. (())
Tidak ada komentar:
Posting Komentar