Sabtu, 20 Februari 2021

EKOLOGI DAN LINGKUNGAN

        Perkembangan Ibukota Jakarta yang pesat di berbagai sektor ditandai dengan berkembangnya pemukiman warga, kawasan industri, perkantoran, rumah sakit, hotel, apartemen, sarana rekreasi air dan pusat perbelanjaan. Penambahan pemukiman dan sarana-sarana publik itu mengakibatkan penyedotan air tanah meningkat secara masif. Perkembangan kota Jakarta itu juga menyebabkan perubahan pada lingkungan khususnya daerah-daerah resapan air. Daerah-daerah tersebut berkurang sedikit demi sedikit sehingga mempengaruhi ketersediaan air bersih. Ketersediaan air bersih berkaitan erat dengan kebutuhan air bersih yang terus meningkat. 

Keprihatinan Ekologis

Dalam sebuah diskusi  di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta tanggal 15 Oktober 2019 yang lalu, mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan mengungkapkan bahwa intrusi air laut Jakarta sudah sampai Monas (Redaksi Kumparan, 2019). Hal ini terjadi karena penurunan permukaan tanah yang terus menerus akibat pengunaan air tanah dari sumur bor yang tidak terkendali dan banyaknya bangunan yang membebani permukaan tanah. 

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, pada tahun 2018 permukaan tanah di Jakarta Utara, khususnya Ancol turun hingga dua belas sentimeter per tahun dan masih terus terjadi sampai saat ini. Jika kondisi itu tidak direspon,  dalam waktu sepuluh tahun mendatang, permukaan tanah Jakarta bisa turun  lebih dari satu meter atau dalam kurun waktu lima puluh tahun mendatang, penurunan permukaan tanah bisa sampai lima meter. Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Rudy Suhendar, pengendalian pengambilan air tanah dapat mempengaruhi penurunan permukaan tanah sekitar 20-30 persen.

Masih di Jakarta, sebuah riset yang dikeluarkan oleh lembaga penelitian air tanah DKI,  Amrta Institute pada tahun 2017 telah merilis kebutuhan air bersih di Jakarta sebanyak 1,2 miliar kubik dan terus bertambah setiap tahun (katadata.co.id, 2017). Namun, PAM Jakarta hanya mampu memenuhi 36 persen dari total kebutuhan air bersih di Jakarta. 

Hasil studi Amrta Institute juga menyebutkan, sebanyak 93 persen air tanah dan sungai di Jakarta telah terpapar bakteri Escherichia coli sebesar 2.000.000/100 mm3. Jumlah tersebut telah melampaui batas toleransi yang ditetapkan yaitu sebesar 2.000/100 mm3 (katadata.co.id, 2017). 

Pada skala nasional, Indonesia juga tengah mengalami kondisi darurat ekologi yang disebabkan tingginya kerusakan hutan dan tidak berbanding lurus dengan kemampuan pe­merintah dalam merehabilitasi hutan. Luas lahan kritis di Indo­nesia sekitar 24,3 juta hektar dengan laju kerusakan hutan rata-rata sekitar 750.000 hektar per ta­hun. Sementara, kemampuan pemerintah melakukan reha­bilitasi hutan dan lahan ra­ta-rata berkisar 250.000 hektar per tahun.

Kerusakan lingkungan, degradasi lahan, daerah aliran sungai yang semakin kritis karena pemukiman penduduk, semakin meningkat­kan risiko bencana. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugro­ho, per­ubahan iklim global berdampak pada peningkatan curah hujan ekstrem. Lebih jauh Sutopo mengatakan bahwa anca­man bencana akan terus me­ningkat seiring dengan men­ingkatnya curah hujan. 

Ekologis Dan Lingkungan

Berbicara tentang ekologi, masyarakat tidak dapat melepaskan pemikiran terhadap lingkungan. Kata ekologi mencakup makna yang luas, tidak terbatas pada lingkungan saja. Secara etimologi, ekologi berasal dari kata Yunani yaitu oikos yang berarti habitat atau tempat hidup dan logos yang berarti ilmu. Umumnya ekologi dilukiskan sebagai penyelidikan mengenai hubungan-hubungan antara planet, hewan, manusia, dan lingkungan hidup serta keseimbangan yang ada di antaranya (Hassan Shadily, 1991). Menurut KBBI, ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya (KBBI, 2019). Secara harafiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya (Dr. William Chang, 2000). Selain itu, ekologi dipahami sebagai ilmu tentang keseluruhan organisme di kawasan beradanya; ilmu tentang tatanan dan fungsi alam atau kelompok organisme yang ditemukan dalam alam dan interaksi di antara mereka (Miller, 1982).

Tinjauan Spiritualitas Katolik

Dalam kisah penciptaan manusia, Kitab Suci Perjanjian Lama mengisahkan tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi yang baik (Kej. 1:26-31). Manusia memiliki relasi mutual dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Relasi harmonis ini menjaga keseimbangan alam dan kelangsungan hidup makhluk. Relasi itu menyiratkan tentang mandat awali, yaitu Allah yang memberi tugas dan tanggung jawab kepada manusia untuk mengusahakan dan memelihara bumi. “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej.1:28). 

Dua kata Ibrani yang digunakan adalah “berkuasa” [rádáh] yang berarti menata, mengatur, memelihara agar alam berfungsi baik untuk semua. Kata kedua,“taklukkanlah” [kábás] berarti membuatnya bermanfaat agar menghasilkan sesuatu bagi hidup manusia, misalnya mengolahnya untuk pertanian. Alam bagi manusia adalah ruang untuk hidup [oikos: rumah] yang di dalamnya hidup manusia terlindungi dan terjamin. 

Kekuatan dan kemampuan manusia sebagai gambar dan rupa Allah diabdikan untuk kebaikan alam yang berarti juga kebaikan untuk semua, bukan eksploitasi (mengambil terus menerus) tetapi konservasi memelihara dan menggunakan alam untuk hidup dan keberlangsungan hidup manusia secara manusiawi. Tugas konservasi, juga dihubungkan dengan hari Sabath atau hari ketujuh. Hari Sabath merupakan hari istirahat memberi kesempatan kepada alam untuk tidak disentuh, tetapi membiarkan dia bertumbuh dan berkembang.

Sikap iman pada Tuhan berdampak positif pada alam dan hidup manusia. Itulah sebabnya profesi awali yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah menjadi petani untuk memelihara dan mengolah bumi. Petani adalah profesi anugerah, suci, profesi kunci, sumber hidup bagi semua dan milik  bersama, bukan kutukan. Petani adalah suatu profesi yang sangat jelas menunjukkan bahwa manusia adalah partner atau co-creator Allah untuk memelihara, mengolah alam dan memberi hidup, kepada manusia. 

Kitab Mazmur adalah bentuk pengajaran tentang alam semesta (kosmos) sebagai hadiah Tuhan (Mzm.19:2-5b; Bar.3:35; Sir.16:26;42:15-25). Langit dan bintang-bintang mengidungkan kemuliaan Allah dan memberikan kesaksian karya Pencipta (bdk.Mzm.19:2-5b). Kitab Mazmur mengumandangkan pandangan mengenai penciptaan alam semesta dalam Kitab Kejadian dengan menampilkan unsur-unsur alam, seperti: cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tumbuhan, hewan-hewan dengan cara direnungkan dan dikidungkan (Mzm 104). Di dalam kitab Mazmur ditunjukkan pula tujuan memahami keindahan dan  keteraturan alam. Tiap benda adalah buah sabda Tuhan dan karena itu, ciptaan itu membawa makna dalam dirinya.

PANDANGAN AJARAN SOSIAL GEREJA

Santo Fransiskus dari Asisi

Beliau menggambarkan relasi penghargaan antar manusia, antar makhluk hidup, dan makhluk hidup dengan alam ciptaan lainnya sebagai sesama saudara ciptaan Allah.

Konsili Vatikan II- Gaudium et Spes

Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes menegaskan relasi manusia dengan manusia tentang peruntukan harta benda bumi bagi semua orang. “Allah menghendaki, agarsupaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta–benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” (GS, 69).

Paus Yohanes Paulus II

Paus memberi perhatian yang sungguh-sungguh terhadap persoalan lingkungan hidup. Pada tahun 1979, satu tahun pasca diangkat sebagai Paus, beliau menetapkan St. Fransiskus dari Asisi sebagai Pelindung para Pelestari Lingkungan Hidup. Melalui suratnya, Sanctorum Altrix (11 Juli 1980), Paus Yohanes Paulus II menyebut juga St. Benediktus, sebagai pelindung ekologi. Beliau membaca dan memahami Sabda Tuhan bukan hanya melalui Kitab Suci tapi juga dalam kitab raksasa, yaitu alam semesta. Sri Paus memandang manusia sebagai makhluk pengkontemplasi atas keindahan ciptaan. Manusia didorong untuk bersikap hormat terhadap keindahan, cahaya, dan kebenarannya. Paus Yohanes Paulus II memusatkan perhatian pada keindahan alam, keserasian penciptaan, tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tanggung jawab umum dalam penggunaan sumber-sumber alam.

a.       Laborem Exercens

Dalam ensiklik sosial pertamanya, Laborem Exercens (1987), Sri Paus menyoroti masalah kerja manusia. Beliau menyampaikan pandangannya atas perlunya pengelolaan tanah melalui kerja manusia sebagai tanda keterlibatannya dalam karya penciptaan, pentingnya kemajuan dunia dari satu segi dan perlindungan terhadap alam dari segi lain.

b.      Sollicitudo Rei Socialis

Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan keprihatinan sosial Gereja mengenai krisis lingkungan hidup dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis(1987). Melalui ensiklik tersebut, Paus menekankan pentingnya relasi harmonis terhadap semua makhluk hidup:

“ ... sewajarnyalah ditingkatkan kesadaran, bahwa tidak dapat manusia menggunakan semau sendiri saja, untuk memenuhi kebutuhannya di bidang ekonomi, pelbagai golongan ciptaan, entah bernyawa entah tidak-marga-satwa, tumbuh-tumbuhan, unsur-unsur alam-tanpa akan tertimpa siksaan. Sebaliknya perlu diindahkan kodrat setiap makhluk serta hubungan antar ciptaan dalam satu tata-susunan yang teratur yang justru disebut ‘kosmos’ ...” (Sollicitudo Rei Socialis, 34).

Ensiklik ini memfokuskan perhatian pada tiga issue utama. Pertama, perlunya kesadaran atas pemanfaatan makhluk ciptaan beryawa atau ciptaan tak bernyawa yang selalu menimbulkan akibat yang tidak terhindarkan. Manusia tidak dibenarkan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mengorbankan hewan, tumbuhan dan unsur-unsur alam yang lain. Kekayaan alam seringkali dieksploitasi demi kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan kodrat alam dan saling keterkaitan di antaranya. Kedua, adanya keterbatasan sumber-sumber alam, sehingga perlu memperhatikan aspek pembaharuannya. Pemanfaatan sumber kekayaan alam dengan sikap dominasi mutlak bukan hanya membahayakan generasi sekarang, tetapi juga generasi mendatang. Sumber daya alam yang ada harus dimanfaatkan secara terbatas. Pemanfaatan sumber daya alam juga harus memperhatikan tuntutan-tuntutan moral. Allah mengungkapan secara simbolis agar manusia tidak “memakan buah terlarang” (bdk. Kej.2:16-17). Ketiga, industrialisasi selalu memberi dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

c.       Centessimus Annus

Paus Yohanes Paulus II melalui Ensiklik Centessimus Annus (1991) menuangkan keprihatinan Gereja tentang lingkungan hidup.

“ ... Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati dari pada menemukan dan mengembangkan dirinya, ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi maupun hidupnya sendiri. Di balik perusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan  di bidang antropologi, yang memang sudah tersebar luas....” (Centessimus Annus, 37).

Paus Yohanes Paulus II kembali mengingatkan masalah ligkungan hidup dan ekologi yang kian berat. Kritik tajam telah dilontarkan terhadap sikap manusia dalam memanfaatkan kekayaan alam. Seharusnya manusia menjadi kolaborator dengan Tuhan dalam karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Sri Paus juga berbicara tentang perlindungan dan penyelamatan keadaan ekologi manusiawi, melindungi jenis-jenis hewan yang terancam punah dan keseimbangan umum bumi. Dalam hal ini, Paus hendak menitikberatkan dimensi tanggung jawab kepada manusia.

Paus Fransiskus

Paus mengungkapkan keprihatinannya atas bumi sebagai rumah kita melalui Ensiklik Laudato Si.

“ ... Saudari ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita sampai berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. ...” (Laudato Si, 2).

“... bumi pada dasarnya adalah warisan bersama; buahnya harus menjadi berkat untuk semua. Bagi orang beriman ini merupakan soal kesetiaan kepada Sang Pencipta, karena Tuhanlah yang menciptakan dunia untuk semua. ...” (Laudato Si, 93). 

UUD 1945

Negara Indonesia sesungguhnya telah mengatur tentang pengelolaan alam di wilayah negara Indonesia. Pengelolaan alam diberikan kepada negara agar dapat digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Hak untuk mengelola alam dan seluruh kekayaan alam itu dikuasakan kepada Pemerintah Indonesia dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Secara spesifik, hak pengelolaan yang dimaksud diatur dalam pasal 33 UUD 1945 yaitu:

·      Pasal 33 (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara.

·      Pasal 33 (3): Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

·      Pasal 33 (4): Perekonomian nasionaldiselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Relevansi Dengan Masa Sekarang

Sebagai bagian kecil dari seluruh sistem ekologis, manusia memang seharusnya bertanggung jawab atas tindakannya terhadap diri, sesama, dan lingkungan hidup. Tanggung jawab dan kewajiban moral menjadi tema utama moral lingkungan. Moral ini mengingatkan manusia akan pentingnya perlindungan etis terhadap lingkungan dan menghindari terjadinya perusakan isi lingkungan hidup. 

Masalah lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri. Selain itu, dalam moral lingkungan hidup terkait didalamnya moral lain, seperti: moral sosial, moral perusahaan dan sebagainya. Tuhan telah membekali manusia dengan kemampuan untuk hidup dan bekerja sama dengan-Nya dan segala makhluk ciptaan guna memajukan dan membangun dunia yang telah ditempati.

Sebagai sebuah kesadaran moral, tanggung jawab terhadap lingkungan dapat dipandang sebagai sumbangan pandangan Gereja terhadap lingkugan hidup. Setiap tindakan manusia di berbagai bidang tidak terkecuali teknologi akan mempengaruhi keadaan lingkugan hidup. 

Paus Paulus VI mengatakan bahwa manusia dituntut untuk belajar mengontrol kecenderungan dirinya untuk menguasai dan menundukkan alam dan lingkungan hidup. Tanggung jawab ini tidak hanya menyangkut keadaan dan generasi sekarang, namun mencakup keadaan dan generasi mendatang. Sudah pada tempat dan waktunya kita mendesak kesetiakawanan manusiawi sepanjang sejarah; kita termasuk pendosa terhadap masa lampau dan masa depan akan menilai tindakan-tindakan kita dengan segala dampaknya. 

Manusia dipercayai untuk mengelola kekayaan alam secara bijaksana dan bertanggung jawab. Kebebasan dan kemerdekaan dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia. Dalam kebebasan inilah, manusia seharusnya mengembangkan sikap dan tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, tampaklah harmonisasi relasi antar ciptaan yang sesungguhnya dapat membawa kebaikan bersama bila manusia sebagai makhluk berakal budi menyadarinya dengan sungguh-sungguh.

 

Sumber:

Dr. William Chang, O. (2000). Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.

Hassan Shadily, d. (1991). Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru.

katadata.co.id. (2017, Maret 22). Berapa Kebutuhan Air Bersih di Jakarta? Retrieved from databoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/03/22/berapa-kebutuhan-air-bersih-di-jakarta

KBBI. (2019, Oktober 15). KBBI. Retrieved from KBBI Web: https://kbbi.web.id/ekologi

Miller, G. T. (1982). Moral Lingkugan Hidup. Belmont.

Redaksi Kumparan. (2019, Oktober 15). Air Laut Sudah Sampai Monas, Kapan Jakarta Tenggelam? Retrieved from kumparanBISNIS: https://m.kumparan.com/@kumparanbisnis/air-laut-sudah-sampai-monas-kapan-jakarta-tenggelam-1s3rDOP8ik3?utm_medium=post&utm_source=Twitter&utm_campaign=int

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar