Suatu siang, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja menuju rumah, saya mampir sejenak di tepi jalan. Cuaca panas nan terik membuat mata semakin berat dan mengantuk. Demi keselamatan, saya memsan secangkir kopi hitam sekedar untuk menahan kantuk.
Si penjual kopi menyeduh kopi bungkusan ke dalam wadah, lalu menyeduh air panas dengan takaran yang cukup dan mengaduknya. Tak lama, seorang pengemudi sepeda motor online berhenti dan meminta dibuatkan kopi.
Sambil memperhatikan tindakan si penjual
kopi, saya mencoba untuk menebak penghasilannya. Sejujurnya, saya merasa iba
kepadanya. Saya pun tergelitik untuk mengetahuinya dengan bertanya mengenai
kondisi dagangannya siang itu. Ia mengatakan, setengah hari itu, ia baru
menyeduh sekitar sepuluh bungkus kopi. Itu berarti ia baru mencapai omzet tiga
puluh ribu rupiah.
Yah, dengan omzet seperti itu, tentu
saja keuntungan yang diperolehnya tidak sebanyak yang dibayangkan orang. Jika
penjualannya berlangsung sehari, maka dapat dibayangkan hasil yang akan
dibawanya pulang untuk keluarganya.
Namun, ada hal menarik yang saya lihat
siang itu. Seorang pengemis menghampiri kami sambil menadahkan tangannya. Saya
merogoh saku, mengambil selembar uang lima ribu dan memberikan kepada pengemis
itu.
Hal yang tak saya duga, si penjual kopi memberikan sebungkus nasi yang tergantung di sepedanya dan selembar uang sepuluh ribu kepada si pengemis itu. Sejenak saya tertegun melihatnya dan diam seribu bahasa. Saya merasa kagum atas tindakan si penjual kopi itu. Rasa kagum itu berubah menjadi rasa hormat terlebih setelah ia menuturkan bahwa nasi bungkus itu adalah nasi yang dibawanya dari rumah ketika mengisi termos, wadah air panasnya.
Derma Si Janda
Miskin
Saya teringat akan sebuah kisah mengenai
seorang janda miskin di sebuah tempat ibadah. Ia hanya memiliki dua keping uang.
Hari itu ia bermaksud mendermakan uang miliknya tersebut ke rumah ibadat.
Tidak jauh dari tempatnya, seorang kaya
mendermakan sekantung uangnya dihadapan banyak orang. Mereka berdecak kagum
atas kedermawanan orang kaya tersebut. Mereka menundukkan kepala sebagai tanda
hormat kepadanya.
Si kaya tampak bangga melihat orang
memuji dan menyanjungnya karena derma yang diberikannya sangat besar. Ia
menganggap bahwa pemberiannya sangat besar sehingga ia pantas mendapatkan
kehormatan itu dari orang-orang yang melihatnya.
Si janda miskin hanya terdiam
menyaksikan kejadian itu. Ia merasa bahwa dirinya tidak sebanding dengan si
kaya tersebut. Ia hanya memiliki dua keping uang. Nilai dua keping itu
sesungguhnya sangat berharga bagiya. Ia dapat membeli makanan untuknya dan
anaknya dengan dua keping uang tersebut.
Insight
Tidak sedikit orang merasa bangga karena
mampu memberi banyak bagi orang lain. Pemberian yang besar dianggap dapat
mendongkrak pamor dan popularitas seseorang. Apalagi pemberian itu disaksikan
oleh banyak orang sehingga menjadi pemberitaan besar dan perbincangan
masyarakat.
Sebuah tindakan pemberian dalam konsep berbagi
memang dianjurkan bagi setiap orang. Dalam ajaran agama pun diajarkan mengenai
kebaikan-kebaikan berbagi tersebut sebagai sebuah keharusan.
Sayang, manusia seringkali terjebak
dalam persepsi yang kurang tepat dan memaksakan pemikirannya sendiri atas
tindakan berbagi itu.
Berbagi secara umum dapat diartikan
sebagai tindakan memberikan sebagian miliknya untuk kepentingan orang lain. Jauh
dalam sebuah permenungan, tindakan berbagi tidak terbatas pada sikap memberi
sebagian miliknya. Namun, lebih mendalam, berbagi adalah memberi diri bagi
orang lain.
Makna “memberi” juga tidak terbatas pada objeknya berupa benda atau materi. Kata “memberi” juga meliputi pemberian suatu objek yang abstrak dalam aneka bentuk misalnya perhatian, penghiburan, pengajaran, pendampingan dan sebagainya. Sebuah pemberian dapat saja dinilai besar dan kecilnya. Namun, besar-kecil tidak terbatas hanya pada makna takaran nyata secara angka, melainkan takaran kuantitas yang sifatnya abstrak namun terukur.
Bagi sebagian orang, jumlah yang banyak
seringkali menjadi tolok ukur kebaikan sebuah pemberian. Mereka yang mampu
memberi dalam jumlah banyak akan memperoleh penghargaan yang tinggi. Memang,
tidak semuanya dianggap memiliki “nilai minus”.
Dalam konteks kisah janda miskin tadi, dapat direfleksikan sebuah makna pemberian dari kedua tokoh cerita itu. Si kaya memberi sejumlah uang miliknya dari kelebihannya. Artinya, pemberiannya itu hanyalah sebagian kecil dari seluruh kepemilikannya. Ia tidak akan jatuh miskin dan menderita karena memberikan derma. Di pihak lain, si janda miskin memberi keseluruhan harta miliknya dari kekurangannya. Artinya, pemberiannya itu merupakan keseluruhan miliknya baik materi yaitu uang miliknya dan non materi yaitu cinta dan kerendahan hatinya.
Kerendahan hati pribadi janda miskin
yang ditunjukkannya dalam pemberian derma 2 keping koin itu menjadi simbol
pemberian diri seseorang bagi kehidupan orang lain. Sebuah ungkapan belarasa yang
seutuhnya bagi sesamanya. Berapa banyak orang yang memiliki hati dan cinta seperti si janda miskin itu?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar