Senin, 08 Maret 2021

DOSA KARENA LIDAH” (SURAT YAKOBUS 3:1-12)

Saya mencoba mengulas salah satu surat Katolik yaitu Surat Yakobus yang menggantungkan tantangannya kepada para pembaca terkait ketidakdewasaan rohani. Dalam bab 3, khususnya pada perikop ayat 1-12, pembaca ditantang untuk menyangkal "keinginan daging” manusia yaitu ucapan, dengan cara menerima dan menggunakan hikmat dari Tuhan. Yakobus menekankan sifat manusia yang mudah jatuh ke dalam dosa. Salah satu sifat manusia yang dimaksud adalah keinginan daging (baca: jasmani) yang selalu mengarahkan manusia untuk memuliakan diri sendiri dengan perkataannya.


 A.  Latar Belakang Penulisan

Surat Yakobus ditulis oleh seseorang yag bernama Yakobus yang mengklaim dirinya sebagai penerus tradisi Yahudi. Sejauh ini, tidak ada kepastian siapa yang dimaksud, apakah Yakobus saudara Yesus (Mrk. 6:3) atau Yakobus murid Yesus (Mat. 4:21). Para ahli sejarah menduga penulis surat ini merupakan orang lain yang memiliki nama yang sama tetapi menunjuk kepada orang yang berbeda.

Surat Yakobus ditujukan kepada seluruh jemaat Kristen Yahudi diaspora yang tersebar dari Palestina.  Meskipun di awal surat ini disebutkan “..., kepada kedua belas suku di perantauan” (Yak. 1:1), namun yang dimaksud sesungguhnya adalah jemaat Kristen yang tersebar  di mana-mana[1] sehingga Surat Yakobus dikatakan bersifat umum. Surat ini, tidak menyebutkan secara eksplisit, mengapa Yakobus menuliskan nasihat yang keras terkait pengendalian lidah. Jika ditelusuri, pada zaman Yakobus, orang Yahudi memandang para guru (rabi) sebagai orang yang sangat dihormati (lih. Mat 23: 8; 1 Kor 14: 26-33). Oleh karena itu, banyak orang meskipun tidak memiliki kompetensi mengajar, berkeinginan untuk mengajar demi prestise atau motif lainnya. Yakobus sebagai penulis kemungkinan melihat potensi timbulnya dosa yang diakibatkan oleh lidah bagi seorang pengajar. Para pengajar (lih. Kis. 13:1, Ef. 4:11) dikatakan berbeda dengan para nabi. Pengajar dianggap mampu memberikan sudut pandang baru atas pengajaran lama dan menafsirkan kembali tradisi Yahudi. Dapat diduga, penulis Surat Yakobus merupakan pengajar yang mewarisi dan menjaga tradisi Yahudi.

 B.  Tujuan Penulisan

Penulisan Surat Yakobus berpolakan sastra Hikmat Kebijaksanaan dan terarah kepada praksis iman melalui perbuatan-perbuatan baik.  Tujuan utama penulisan surat ini adalah memberikan salah satu nasihat bagi jemaat Kristen perdana mengenai upaya memperoleh kekudusan hidup dan kedewasaan iman Kristen dengan cara mengendalikan lidah.

C.  Struktur Penulisan

Para ahli kitab suci membagi perikop ini dalam lima bagian pokok pikiran untuk memudahkan para pembaca memahami pesan yang disampaikan oleh penulis[2]. Kelima pokok pikiran yang dimaksud adalah peringatan atas hal negatif, alasan memberikan peringatan, contoh bahaya yang ditimbulkan, sifat lidah yang tidak terkendali dan inkonsistensi lidah.

 D.  Analisa Teks

Secara keseluruhan, kedua belas ayat dalam perikop ini menguraikan tentang etika “berbicara” dalam konteks pengajaran. Perlunya pengendalian lidah menjadi sangat penting karena lidah dapat mencelakakan (Dr. C. Groenen, 1984, hal. 344). Beberapa penafsir mengatakan bahwa pengendalian lidah adalah hal yang tidak dapat dilakukan namun sebagian lain menafsirkannya sebagai hal yang tidak mudah namun dapat dilakukan dengan hikmat dari Allah.

 1. Peringatan Atas Hal Negatif (Surat Yakobus 3: 1)

Yakobus mengawali bab ketiga suratnya dengan mengatakan bahwa setiap pengikut Kristus mempunyai tanggung jawab untuk "mengajar" dalam pengertian “membagikan” atau “menyampaikan” Firman Allah kepada orang lain (bdk. Mat. 28:19; Ibr. 5:12). Namun, Yakobus memperingatkan setiap "guru”[3] yang mengajar di gereja dan kapasitas pelayananannya dianggap tidak layak maka ia harus mengundurkan diri. Bagi Yakobus, guru memang penting, tetapi guru yang tidak kompeten dan tidak layak akan banyak merugikan. Guru yang tidak memiliki kompetensi berpotensi  menjadi “Sang Peramal”, dalam pengertian memberikan penafsiran bebas menurut dirinya sendiri. Tanpa bermaksud merendahkan peran guru karena Yakobus justru memposisikan dirinya sebagai seorang guru, ia menegaskan bahwa guru akan “dihakimi” dengan lebih tegas dan mendalam daripada non-guru karena guru mengetahui tentang  kebenaran dan mengakui diri hidup dalam kebenaran itu.

 2. Alasan Memberikan Peringatan (Surat Yakobus 3: 2)

Setidak-tidaknya semua orang tanpa kecuali memiliki kelemahan yang sama yaitu pengendalian lidah ​​(ayat 5-12) karena lidah merupakan anggota tubuh yang sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, semua orang juga memiliki dosa yang sama dengan orang lain yaitu dosa lidah. Orang yang berbicara terlalu banyak, pada suatu waktu akan keliru dalam perkataan. Yesus adalah satu-satunya manusia yang mampu mengendalikan lidah. Dalam ayat ini, Yakobus mengatakan alasannya memberikan peringatan untuk mengendalikan “lidah” atau ucapan (3:1) agar imannya tidak “sakit” (lih. Titus 1:11).

 3. Bahaya Lidah Tidak Terkendali  (Surat Yakobus 3: 3-6)

Yakobus mengilustrasikan tergantungnya lidah sebagai simbol kendali pada lidah. Ia membandingkan kendali tersebut dengan tali kekang pada kuda (3:3). Perbandingan ini menunjukkan bahwa “lidah” sebagaimana dengan kuda harus dikendalikan. Yakobus juga menampilkan kapal-kapal besar yang memiliki kemudi yang kecil di dalamnya dan dikendalikan menurut kehendak jurumudi (3:4). Kedua elemen pembanding itu menjelaskan bahwa rintangan yang besar dapat dihadapi jika lidah terkontrol dengan baik. Meskipun kecil, tali kekang dan kemudi, setali tiga uang dengan lidah, mampu menghasilkan perubahan yang besar karena kekuatan besar yang dimilikinya. Sebaliknya, lidah juga mampu menghasilkan kekuatan yang merusak bagai percikan api kecil yang mampu membakar seisi hutan (3:5). Lidah diilustrasikan juga dengan api sebagai simbol kekuatan kejahatan duniawi dalam konteks yang luas: ketamakan, penyembahan berhala, penistaan, hawa nafsu, keserakahan yang dapat membakar hidup manusia. Lidah sering menjerumuskan tubuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, Salomo memperingatkan: “Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, ...” (Pkh. 5:5).

 4. Sifat Lidah Yang Tidak Terkendali (Surat Yakobus 3: 7-8)

Yakobus mengatakan bahwa manusia sejak dahulu memiliki kemampuan menjinakkan berbagai hewan buas di bumi dan mengajar hewan-hewan lainnya.  Manusia mampu menjinakkan singa atau harimau, dan mengajar burung untuk berbicara, serta melatih lumba-lumba dan paus (3:7).  Namun, lidah jauh lebih berbahaya dari binatang buas dan mematikan sekalipun. Lidah tak terkuasai dan jauh lebih mematikan karena ia tidak pernah beristirahat sehingga mampu membuat orang mati namun tetap bernafas (3:8). Yakobus mengatakan bahwa pengendalian lidah membutuhkan kewaspadaan, usaha, dan doa, meskipun usaha-usaha ini seringkali masih kurang. Lidah mudah menerobos semua batasan dan aturan, bagai ular yang menyemburkan racunnya. Oleh karena itu, tidak ada orang yang mampu mengendalikan lidah tanpa memperoleh anugerah dan pertolongan Allah.

 5. Inkonsistensi Lidah (Surat Yakobus 3: 9-12)

Manusia dapat memuji dan memuliakan Allah, tetapi dalam seketika manusia mampu berbalik dan menghina orang lain dengan dengan perkataannya dari mulut yang sama. Inilah ketidakkonsistenan lidah sehingga lidah sulit dipercaya (3:9). Padahal, manusia diciptakan secitra dengan Allah (lih. Kej 1:27). Mulut dan lidah yang sama dapat mengucapkan berkat dan penghinaan sekaligus, dan ini bertentangan dengan kehendak Allah dan kodrat alami kehidupan (3:10). Dalam kehidupan duniawi dan alami, sebuah sumber tidak akan mengeluarkan dua hal yang berbeda. Yakobus mengilustrasikan sumber air yang sama tidak akan memancarkan air tawar dan air pahit  dari mata air yang sama (3:11). Yakobus menyoroti inkonsistensi alami ini dan mengatakan bahwa pohon (bdk. Mat.7:16), ataupun  lidah memiliki kekuatan positif untuk menghasilkan buah dari jenisnya sendiri. Sumber air hanya dapat menghasilkan satu jenis air saja (segar atau tidak segar). Dengan kata lain, Yakobus hendak menegaskan bahwa baik akan keluar dari mulut (lidah) yang terkendali dengan baik. Sebaliknya, perkataan buruk akan datang dari mulut (lidah) yang tidak terkendali.

E.   Refleksi

Dalam praktik mengajar, orang seringkali “terpeleset” dalam perkataan. Mungkin saja hal itu terjadi karena faktor ketidaksengajaan, atau karena kesombongan. Dalam ketidaktahuannya, para murid di sekolah akan mempercayai sepenuhnya hal-hal yang disampaikan oleh dan didengar dari gurunya.  Tidak jarang, para guru justru “memanfaatkan” situasi ini untuk “membenarkan” tindakannya tersebut.

Dalam keluarga, para orangtua pun sering berlaku demikian. Ego sebagai orangtua mendominasi perkataan kepada anak-anak atau anggota keluarga lainnya. Akibatnya, terjadi “pemberontakan” sikap sebagai pembenaran. Misalnya ketika orangtua menegur perilaku salah pada anak, sementara orangtua justru melakukan kesalahan yang sama. Anak akan memandang bahwa orangtua hanya bisa berbicara saja tapi tidak mampu mempraktikkan. Hal lain, baik guru maupun orangtua dapat mengatakan hal yang salah sebagai sebuah kebenaran.

Dalam pelayanan rohani di Gereja pun, praktik-praktik demikian masih terjadi. Keterbatasan pengetahuan iman dan kemampuan  mengajar seringkali diabaikan demi mendapatkan “perhatian” atau “pujian” dari orang lain. Tindakan yang terkesan dipaksakan itu dapat pula terjadi karena minimnya tenaga pengajar. Orang seringkali tampil karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Biasanya hal ini terjadi pada kelompok-kelompok Bina Iman Anak dan Remaja. Kekurangan bahkan ketiadaan kompetensi mengajar untuk kelompok usia anak dan remaja menyebabkan pengajaran tidak tepat sasaran. Minimnya pengetahuan iman tak jarang membuat pengajaran terkesan asal-asalan sehingga inti pewartaan tidak sampai kepada umat.

Nilai iman dan ketaatan yang disampaikan oleh Yakobus terasa menyentuh bagian terdalam hati dan pikiran saya.  Benar bahwa keinginan daging adalah tantangan terbesar manusia di dunia termasuk saya di dalamnya. Arahan Yakobus dalam perikop ini sungguh menjadi alarm pribadi dalam praktik mengajar baik di sekolah maupun dalam pelayanan di Gereja. Tentu tidak cukup berbekal pengetahuan saja untuk menjadi seorang pengajar.  Ia harus mampu mempertanggungjawabkan perkataan dan tindakannya tidak saja di hadapan dunia, tetapi juga di hadapan Allah. Oleh karena itu, dominasi kelemahan daging harus diimbangi dan diperkuat dengan iman dan ketaatan, yang berisi pengendalian diri atas dasar Hukum Kasih Tuhan.

Tantangan dalam pelayanan seringkali dikaitkan dengan iman dan ketaatan, tema besar yang disampaikan Yakobus dalam suratnya. Kedewasaan iman diperoleh dengan kepercayaan diri yang penuh, kasih dalam pelayanan, menjaga ucapan dalam peri kehidupan sehari-hari baik pikiran, perkataan dan perbuatan. Iman yang kuat lebih unggul dari roh dunia dan menguasai keinginan daging. Iman yang kuat mampu bertahan terhadap serangan iblis. Oleh karena itu, manusia harus terus hidup dengan iman yang kuat dan terus dihidupi setiap waktu.

F. Sumber Referensi

Alkitab Edisi Studi. (2014). Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Constable, D. T. (2010). Dr. Constable's Notes on James. Diambil kembali dari Plano Bible Chapel: http://www.planobiblechapel.org/soniclight/

Dr. C. Groenen, O. (1984). Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.

Lembaga Biblika Indonesia,. (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.

Sabda, Y. L. (2020, Mei 18). Catatan Surat Yakobus. Diambil kembali dari Alkitab Sabda: https://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=59&chapter=3&verse=1

Gambar: https://gkailawang395602426.wordpress.com/



[1] Lembaga Alkitab Indonesia. 2014. Alkitab Edisi Studi. Jakarta:LAI, halaman 2004.

[2] Dr. Constable's Notes on James, dapat diakses melalui tautan: http://www.planobiblechapel.org/soniclight/

[3] "guru," lebih kurang seperti para rabi pada zaman itu, seorang guru "profesional" yang mengajar dan melayani di rumah ibadat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar