Saya mencoba mengulas salah satu surat Katolik yaitu Surat Yakobus yang menggantungkan tantangannya kepada para pembaca terkait ketidakdewasaan rohani. Dalam bab 3, khususnya pada perikop ayat 1-12, pembaca ditantang untuk menyangkal "keinginan daging” manusia yaitu ucapan, dengan cara menerima dan menggunakan hikmat dari Tuhan. Yakobus menekankan sifat manusia yang mudah jatuh ke dalam dosa. Salah satu sifat manusia yang dimaksud adalah keinginan daging (baca: jasmani) yang selalu mengarahkan manusia untuk memuliakan diri sendiri dengan perkataannya.
Surat
Yakobus ditulis oleh seseorang yag bernama Yakobus yang mengklaim dirinya
sebagai penerus tradisi Yahudi. Sejauh ini, tidak ada kepastian siapa yang
dimaksud, apakah Yakobus saudara Yesus (Mrk. 6:3) atau Yakobus murid Yesus
(Mat. 4:21). Para ahli sejarah menduga penulis surat ini merupakan orang lain
yang memiliki nama yang sama tetapi menunjuk kepada orang yang berbeda.
Surat Yakobus ditujukan kepada seluruh jemaat Kristen Yahudi diaspora yang tersebar dari Palestina. Meskipun di awal surat ini disebutkan “..., kepada kedua belas suku di perantauan” (Yak. 1:1), namun yang dimaksud sesungguhnya adalah jemaat Kristen yang tersebar di mana-mana[1] sehingga Surat Yakobus dikatakan bersifat umum. Surat ini, tidak menyebutkan secara eksplisit, mengapa Yakobus menuliskan nasihat yang keras terkait pengendalian lidah. Jika ditelusuri, pada zaman Yakobus, orang Yahudi memandang para guru (rabi) sebagai orang yang sangat dihormati (lih. Mat 23: 8; 1 Kor 14: 26-33). Oleh karena itu, banyak orang meskipun tidak memiliki kompetensi mengajar, berkeinginan untuk mengajar demi prestise atau motif lainnya. Yakobus sebagai penulis kemungkinan melihat potensi timbulnya dosa yang diakibatkan oleh lidah bagi seorang pengajar. Para pengajar (lih. Kis. 13:1, Ef. 4:11) dikatakan berbeda dengan para nabi. Pengajar dianggap mampu memberikan sudut pandang baru atas pengajaran lama dan menafsirkan kembali tradisi Yahudi. Dapat diduga, penulis Surat Yakobus merupakan pengajar yang mewarisi dan menjaga tradisi Yahudi.
Penulisan Surat Yakobus berpolakan sastra Hikmat Kebijaksanaan dan terarah
kepada praksis iman melalui perbuatan-perbuatan baik. Tujuan utama penulisan surat ini adalah
memberikan salah satu nasihat bagi jemaat Kristen perdana mengenai upaya
memperoleh kekudusan hidup dan kedewasaan iman Kristen dengan cara
mengendalikan lidah.
C. Struktur Penulisan
Para
ahli kitab suci membagi perikop ini dalam lima bagian pokok pikiran untuk
memudahkan para pembaca memahami pesan yang disampaikan oleh penulis[2]. Kelima
pokok pikiran yang dimaksud adalah peringatan atas hal negatif, alasan
memberikan peringatan, contoh bahaya yang ditimbulkan, sifat lidah yang tidak
terkendali dan inkonsistensi lidah.
Secara keseluruhan, kedua belas ayat
dalam perikop ini menguraikan tentang etika “berbicara” dalam konteks
pengajaran. Perlunya pengendalian lidah menjadi sangat penting karena lidah
dapat mencelakakan
1.
Peringatan Atas Hal Negatif (Surat Yakobus 3: 1)
Yakobus
mengawali bab ketiga suratnya dengan mengatakan bahwa setiap pengikut Kristus
mempunyai tanggung jawab untuk "mengajar" dalam pengertian
“membagikan” atau “menyampaikan” Firman Allah kepada orang lain (bdk. Mat.
28:19; Ibr. 5:12). Namun, Yakobus memperingatkan setiap "guru”[3] yang
mengajar di gereja dan kapasitas pelayananannya dianggap tidak layak maka ia
harus mengundurkan diri. Bagi Yakobus, guru memang penting, tetapi guru yang
tidak kompeten dan tidak layak akan banyak merugikan. Guru yang tidak memiliki kompetensi
berpotensi menjadi “Sang Peramal”, dalam
pengertian memberikan penafsiran bebas menurut dirinya sendiri. Tanpa bermaksud
merendahkan peran guru karena Yakobus justru memposisikan dirinya sebagai
seorang guru, ia menegaskan bahwa guru akan “dihakimi” dengan lebih tegas dan
mendalam daripada non-guru karena guru mengetahui tentang kebenaran dan mengakui diri hidup dalam
kebenaran itu.
Setidak-tidaknya
semua orang tanpa kecuali memiliki kelemahan yang sama yaitu pengendalian lidah
(ayat 5-12) karena lidah merupakan anggota tubuh yang sulit untuk
dikendalikan. Oleh karena itu, semua orang juga memiliki dosa yang sama dengan
orang lain yaitu dosa lidah. Orang yang berbicara terlalu banyak, pada suatu
waktu akan keliru dalam perkataan. Yesus adalah satu-satunya manusia yang mampu
mengendalikan lidah. Dalam ayat ini, Yakobus mengatakan alasannya memberikan
peringatan untuk mengendalikan “lidah” atau ucapan (3:1) agar imannya tidak
“sakit” (lih. Titus 1:11).
Yakobus
mengilustrasikan tergantungnya lidah sebagai simbol kendali pada lidah. Ia
membandingkan kendali tersebut dengan tali kekang pada kuda (3:3). Perbandingan
ini menunjukkan bahwa “lidah” sebagaimana dengan kuda harus dikendalikan.
Yakobus juga menampilkan kapal-kapal besar yang memiliki kemudi yang kecil di
dalamnya dan dikendalikan menurut kehendak jurumudi (3:4). Kedua elemen
pembanding itu menjelaskan bahwa rintangan yang besar dapat dihadapi jika lidah
terkontrol dengan baik. Meskipun kecil, tali kekang dan kemudi, setali tiga
uang dengan lidah, mampu menghasilkan perubahan yang besar karena kekuatan
besar yang dimilikinya. Sebaliknya, lidah juga mampu menghasilkan kekuatan yang
merusak bagai percikan api kecil yang mampu membakar seisi hutan (3:5). Lidah
diilustrasikan juga dengan api sebagai simbol kekuatan kejahatan duniawi dalam
konteks yang luas: ketamakan, penyembahan berhala, penistaan, hawa nafsu,
keserakahan yang dapat membakar hidup manusia. Lidah sering
menjerumuskan tubuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, Salomo memperingatkan: “Janganlah
mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, ...” (Pkh. 5:5).
Yakobus
mengatakan bahwa manusia sejak dahulu memiliki kemampuan menjinakkan berbagai
hewan buas di bumi dan mengajar hewan-hewan lainnya. Manusia mampu menjinakkan singa atau harimau,
dan mengajar burung untuk berbicara, serta melatih lumba-lumba dan paus (3:7). Namun, lidah jauh lebih berbahaya dari
binatang buas dan mematikan sekalipun. Lidah tak terkuasai dan jauh lebih
mematikan karena ia tidak pernah beristirahat sehingga mampu membuat orang mati
namun tetap bernafas (3:8). Yakobus mengatakan bahwa pengendalian lidah membutuhkan kewaspadaan,
usaha, dan doa, meskipun usaha-usaha ini seringkali masih kurang. Lidah
mudah menerobos semua batasan dan aturan, bagai ular yang menyemburkan racunnya.
Oleh karena itu, tidak ada orang yang mampu mengendalikan lidah tanpa
memperoleh anugerah dan pertolongan Allah.
Manusia
dapat memuji dan memuliakan Allah, tetapi dalam seketika manusia mampu berbalik
dan menghina orang lain dengan dengan perkataannya dari mulut yang sama. Inilah
ketidakkonsistenan lidah sehingga lidah sulit dipercaya (3:9). Padahal, manusia
diciptakan secitra dengan Allah (lih. Kej 1:27). Mulut dan lidah yang
sama dapat mengucapkan berkat dan penghinaan sekaligus, dan ini bertentangan
dengan kehendak Allah dan kodrat alami kehidupan (3:10). Dalam kehidupan
duniawi dan alami, sebuah sumber tidak akan mengeluarkan dua hal yang berbeda.
Yakobus mengilustrasikan sumber air yang sama tidak akan memancarkan air tawar
dan air pahit dari mata air yang sama
(3:11). Yakobus menyoroti inkonsistensi alami ini dan mengatakan bahwa pohon (bdk.
Mat.7:16), ataupun lidah memiliki
kekuatan positif untuk menghasilkan buah dari jenisnya sendiri. Sumber air
hanya dapat menghasilkan satu jenis air saja (segar atau tidak segar). Dengan
kata lain, Yakobus hendak menegaskan bahwa baik akan keluar dari mulut (lidah)
yang terkendali dengan baik. Sebaliknya, perkataan buruk akan datang dari mulut
(lidah) yang tidak terkendali.
E. Refleksi
Dalam praktik mengajar, orang seringkali
“terpeleset” dalam perkataan. Mungkin saja hal itu terjadi karena faktor
ketidaksengajaan, atau karena kesombongan. Dalam ketidaktahuannya, para murid
di sekolah akan mempercayai sepenuhnya hal-hal yang disampaikan oleh dan
didengar dari gurunya. Tidak jarang, para
guru justru “memanfaatkan” situasi ini untuk “membenarkan” tindakannya
tersebut.
Dalam keluarga, para orangtua pun sering
berlaku demikian. Ego sebagai orangtua mendominasi perkataan kepada anak-anak
atau anggota keluarga lainnya. Akibatnya, terjadi “pemberontakan” sikap sebagai
pembenaran. Misalnya ketika orangtua menegur perilaku salah pada anak,
sementara orangtua justru melakukan kesalahan yang sama. Anak akan memandang
bahwa orangtua hanya bisa berbicara saja tapi tidak mampu mempraktikkan. Hal
lain, baik guru maupun orangtua dapat mengatakan hal yang salah sebagai sebuah
kebenaran.
Dalam pelayanan rohani di Gereja pun, praktik-praktik
demikian masih terjadi. Keterbatasan pengetahuan iman dan kemampuan mengajar seringkali diabaikan demi mendapatkan
“perhatian” atau “pujian” dari orang lain. Tindakan yang terkesan dipaksakan
itu dapat pula terjadi karena minimnya tenaga pengajar. Orang seringkali tampil
karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Biasanya hal ini terjadi pada
kelompok-kelompok Bina Iman Anak dan Remaja. Kekurangan bahkan ketiadaan
kompetensi mengajar untuk kelompok usia anak dan remaja menyebabkan pengajaran
tidak tepat sasaran. Minimnya pengetahuan iman tak jarang membuat pengajaran
terkesan asal-asalan sehingga inti pewartaan tidak sampai kepada umat.
Nilai iman dan ketaatan yang disampaikan oleh
Yakobus terasa menyentuh bagian terdalam hati dan pikiran saya. Benar bahwa keinginan daging adalah tantangan
terbesar manusia di dunia termasuk saya di dalamnya. Arahan Yakobus dalam
perikop ini sungguh menjadi alarm pribadi dalam praktik mengajar baik di
sekolah maupun dalam pelayanan di Gereja. Tentu tidak cukup berbekal
pengetahuan saja untuk menjadi seorang pengajar. Ia harus mampu mempertanggungjawabkan
perkataan dan tindakannya tidak saja di hadapan dunia, tetapi juga di hadapan
Allah. Oleh karena itu, dominasi kelemahan daging harus diimbangi dan diperkuat
dengan iman dan ketaatan, yang berisi pengendalian diri atas dasar Hukum Kasih
Tuhan.
Tantangan
dalam pelayanan seringkali dikaitkan dengan iman dan ketaatan, tema besar yang disampaikan Yakobus dalam
suratnya. Kedewasaan iman diperoleh dengan kepercayaan diri yang penuh,
kasih dalam pelayanan, menjaga ucapan dalam peri kehidupan sehari-hari baik
pikiran, perkataan dan perbuatan. Iman
yang kuat lebih unggul dari roh dunia dan menguasai keinginan daging. Iman yang
kuat mampu bertahan terhadap serangan iblis. Oleh karena itu, manusia harus
terus hidup dengan iman yang kuat dan terus dihidupi setiap waktu.
F. Sumber Referensi
Alkitab Edisi Studi. (2014). Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Constable, D. T. (2010). Dr. Constable's Notes on James.
Diambil kembali dari Plano Bible Chapel:
http://www.planobiblechapel.org/soniclight/
Dr. C. Groenen, O. (1984). Pengantar ke Dalam Perjanjian
Baru. Yogyakarta: Kanisius.
Lembaga Biblika Indonesia,. (2002). Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.
Sabda, Y. L. (2020, Mei 18). Catatan Surat Yakobus.
Diambil kembali dari Alkitab Sabda: https://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=59&chapter=3&verse=1
[1] Lembaga
Alkitab Indonesia. 2014. Alkitab Edisi Studi. Jakarta:LAI, halaman 2004.
[2] Dr. Constable's Notes on
James, dapat diakses melalui tautan:
http://www.planobiblechapel.org/soniclight/
[3] "guru," lebih
kurang seperti para rabi pada zaman itu, seorang guru "profesional" yang
mengajar dan melayani di rumah ibadat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar