Tuhan telah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, sama derajatnya. Dalam Kitab Kejadian, kisah penciptaan manusia telah menegaskan tentang martabat dan tanggung jawab antara pria dan wanita yang sama di
hadapan Allah. Kesamaan martabat dan tanggung jawab itu kemudian dituangkan secara
istimewa dan khas dalam ikatan perkawinan.
Di dalam perkawinan, pasangan pria dan wanita menyepakati janji untuk saling menyerahkan diri satu sama lain. Wanita mendapat tempat yang sepadan dalam relasi ini. Wanita juga mempertegas perannya sebagai wanita. Dalam perkawinan dan dalam keluarga, secara implisit tampak tanggung jawab dan martabat yang melekat dalam diri pria dan wanita (FC, Art 22). Kehadiran anak dalam keluarga menjadi tanda dimulainya tugas yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk melestarikan ciptaan dan membuatnya baik bagi ciptaan lain (pendidikan).
Kehidupan dunia yang terus berkembang, menghadirkan
perubahan sikap dan perilaku manusia. Penghargaan martabat manusia khususnya perempuan
mengalami penurunan. Pria kurang menghargai wanita, wanita kurang menghargai
pria tampak pada sikap saling menghina, pelecehan seksual, penindasan kaum
lemah, pornografi, pelacuran khususnya dalam bentuk terorganisasi, diskriminasi
di bidang pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Akibatnya, banyak keluarga
yang tidak harmonis. Hal ini dapat memberi pengaruh yang sangat tidak baik sehingga artikel ini diharapkan dapat memberi insight bagi pembaca keluarga (FC, Art 24)..
Cinta kasih yang sejati antara suami dan istri menuntut sikap hormat yang mendalam dari suami terhadap istrinya berdasarkan kesamaan martabat. Cinta kasih suami terhadap istri dan cinta kasih bapa kepada ibu dari anak-anak, dan cinta kasih kepada anak-anak itu sendiri, bagi suami merupakan jalan yang biasa untuk memahami dan mengamalkan kebapaannya sendiri (FC, Art 25). Kesadaran manusia sebagai pria seringkali menjadi satu-satunya cara pandang ketika memasuki kehidupan berkeluarga. Tidak sedikit pria menyadari dengan lambat bahwa perannya telah bertambah, tidak hanya sebagai laki-laki saja, tapi juga sebagai seorang suami. Dan peran itu terus berkembang menjadi “ayah” ketika seorang manusia baru lahir sebagai buah cintanya bersama pasangannya. Tiga peran itu (insan, suami, bapa) mengingatkan akan martabat kesepadanan antara laki-laki dan perempuan. Perlu kesadaran penuh bahwa peran baru itu lahir akibat kerjasama yang setara antara dirinya dengan wanita pasangan hidupnya. Kesetaraan itu menunjukkan pula kesatuan antara pria dan wanita. Kesatuan itu tidak terpisahkan, bahkan oleh karena kehadiran buah hati yang dipercayakan Allah. Hal ini membuat tanggung jawab pendidikan anak melekat padanya. Tampaklah bahwa ayah dan ibu adalah orang yang paling utama dalam pendidikan anak dan masing-masing memegang kendali atas keharmonisan keluarga.
FC, Artikel 36
Orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pendidikan
anak. Setidaknya ada tiga ciri mendasar kewajiban dan tanggung jawab pendidikan anak. Pertama, hak dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak bersifat hakiki karena berkaitan
dengan kehidupan manusiawi. Tanggung
jawab dan kewajiban orang tua ini merupakan konsekuensi kodrati dan
adikodrati dari kelahiran anak-anak dalam keluarga. Kedua, bersifat asali dan utama. Dasar paling utama
dalam hak dan kewajiban
orang tua ini adalah martabat kebapaan dan keibuan dan cinta kasih
mereka. Maka orang tua
menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak. Cinta kasih
antar suami-isteri adalah sumber/pusat, jiwa dan norma pendidikan itu sendiri.
Melalui dan dalam pendidikan, anak-anak dibantu untuk mengalami dan menghayati
cinta kasih Allah dan dibimbing untuk menanggapinya. Ketiga, tugas dan kewajiban mendidik anak ini tak tergantikan dan tidak dapat diambil alih
oleh orang lain. Peran orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama
bagi anak-anak tidak bisa digantikan oleh kehadiran orang lain.
Keterlibatan orang lain dalam pendidikan anak tidak sama
dengan peran orang tua yang sesungguhnya. Kehadiran dan keterlibatan pendidik
lain, misalnya guru, katekis, dan sebagainya bersifat supporting bagi orang tua dalam rangka pendidikan anak-anak. Tugas
mendidik secara mendasar berakar dalam panggilan utama suami-istri untuk
berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan kehadiran buah cinta kasih,
seorang pribadi baru, dirinya mengemban panggilan untuk bertumbuh dan
berkembang. Orangtua bertanggung jawab dalam pendampingan secara terus menerus, efektif, dan menghayati hidup manusiawi yang sepenuhnya.
FC, Artikel 37
Paus Yohanes Paulus II menaruh perhatian serius terkait
pendidikan anak khususnya pendidikan nilai-nilai hakiki kehidupan manusia. Anak-anak
hendaknya dididik untuk memiliki sikap bebas yang tepat terhadap barang-barang
jasmani. Sikap bebas tepat itu ditunjukkan dengan menjalani gaya hidup
sederhana. Tujuannya adalah anak-anak memiliki keyakinan bahwa manusia lebih
berharga karena jati dirinya daripada karena apa yang dipunyainya.
Dewasa ini, kehidupan megapolitan dengan berbagai
tuntutannya dan perkembangan teknologi informasi menghadirkan tantangan yang
tidak mudah bagi kehidupan pribadi-pribadi dalam keluarga baik sebagai pria dan
wanita, sebagai suami dan isteri, maupun sebagai ayah dan ibu.
a. Kehidupan Megapolitan
Di tengah
masyarakat urban yang dinamis seperti Jakarta dan sekitarnya, beberapa faktor
mempengaruhi citra diri dan relasi pria dan wanita dalma keluarga. Tidak dapat
dipungkiri, tuntutan
ekonomi menjadi prioritas utama bagi setiap individu yang tinggal di kota megapolitan. Upaya mencapai pemenuhan kebutuhan hidup terkesan memberi “label materialitis” pada
penduduknya. Image ini berkembang dalam relasi pria dan wanita. Jika
tidak mempunyai penghasilan besar akan dipandang sebelah mata oleh orang lain.
Kesan ini kemudian seolah menjadi “syarat utama” dalam relasi pria dan wanita
dalam keluarga. Kemudian, disadari atau tidak, gaya hidup di kota metropolitan
berdampak pada relasi dan kepercayaan
(trust) dalam keluarga. Jika salah satu pihak mulai berpenampilan berbeda,
muncul rasa ragu dalam diri pasangan. Faktor lainnya, kesibukan dalam pekerjaan seringkali disalahgunakan
oknum individu untuk bertindak tidak sewajarnya. Dukungan ekonomi dan
penyalahgunaan waktu memicu
lahirnya ketidaksetiaan dalam keluarga. Hal ini menjadi tantangan yang
tidak mudah dalam relasi pria dan wanita dalam keluarga. Di sisi lain,
muncul pertanyaan reflektif, apakah semua suami bisa
mengendalikan keluarga? Apakah suami dan istri bisa
mendidik anak dengan penuh iman dan cinta kasih dalam keluarga? apakah orang tua bisa menjadi
contoh yang baik bagi masa depan anak-anak?
b. Perkembangan Teknologi Informasi
Kemudahan
memperoleh informasi dengan cepat dan murah, membuat orang beradaptasi dengan
cepat. Ragam Informasi baru dan menarik dari berbagai tempat menyajikan ragam
budaya yang mempengaruhi perilaku dan kebiasaan manusia. Setiap perubahan yang
terjadi direspon dengan cepat dan menghadirkan sebuah kebiasaan baru. Tidak
jarang, kebiasaan baru ini muncul akibat meniru budaya baru yang justru berseberangan
dengan iman Kristiani dan budaya ketimuran di Indonesia. Fashion, tutur kata, etika dan relasi mulai mengalami
perubahan. Hal ini pun menjadi tantangan yang tidak mudah dalam relasi
pria dan wanita dalam keluarga.
Perlu disadari juga bahwa , suami dan isteri secara terpisah tidak dapat mendidik anak-anak. Suami dan istri sebagai orangtua hendaknya bekerjasama dengan intens. Orangtua juga perlu membuka diri atas beberapa keterbatasan yang dimiliki sehingga membutuhkan pihak ketiga. Oleh sebab itu keluarga perlu terbuka untuk bekerja sama dengan para guru dan pengelola sekolah-sekolah. Demikian juga dengan hidup rohani, suami-isteri juga wajib mendidik anak-anak berdoa secara bertahap untuk membangun jalinan hati dengan Allah secara pribadi. Maka orang tua perlu memberikan teladan kepada anak-anak mereka. Dimasa pandemi ini banyak orang tua tidak memberikan sikap atau teladan yang tepat, misalnya anak dibiarkan sendiri saat sekolah online, kurangnya perhatian terhadap anak saat belajar online, orangtua lebih menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah. Mendidik anak tidak hanya dari pihak sekolah saja tetapi orangtua dan pihak sekolah miliki peran yang penting, tidak boleh berdiri disatu pihak saja.
Insight
Anak perlu memperoleh pendidikan secara menyeluruh
tidak semata-mata pada pemenuhan pendidikan formal yang baik. Orang tua juga hendaknya
mengajarkan pendidikan moral tentang etika, pendidikan sosial menyangkut
kepekaan dan relasi sosial, dan pendidikan spiritual tentang refleksi dan sikap
iman. Semoga hasil pendidikan yang menyeluruh itu dapat terwujud secara nyata dalam perilaku
hidup sehari-hari khususnya dalam keluarga. Amin.
Gambar: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3692160/beda-penampilan-karakter-pemain-keluarga-cemara-dulu-dan-kini
Referensi:
KWI, 2019, Seri Dokumen Gereja Nomor 30: Familiaris Consortio, Dokpen KWI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar