Kamis, 23 Juni 2022

Tinjauan Pribadi Terhadap Moral Perkawinan dan Moral Keluarga Menurut Familiaris Consortio

Ilustrasi gambar: Keluarga Cemara


Tuhan telah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, sama derajatnya. Dalam Kitab Kejadian, kisah penciptaan manusia telah menegaskan tentang martabat dan tanggung jawab antara pria dan wanita yang sama di hadapan Allah. Kesamaan martabat dan tanggung jawab itu kemudian dituangkan secara istimewa dan khas dalam ikatan perkawinan. 


Kehidupan Keluarga Menurut Familiaris Consortio

Di dalam perkawinan, pasangan pria dan wanita menyepakati janji untuk saling menyerahkan diri satu sama lain. Wanita mendapat tempat yang sepadan dalam relasi ini. Wanita juga mempertegas perannya sebagai wanita. Dalam perkawinan dan dalam keluarga, secara implisit tampak tanggung jawab dan martabat yang melekat dalam diri pria dan wanita (FC, Art 22). Kehadiran anak dalam keluarga menjadi tanda dimulainya tugas yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk melestarikan ciptaan dan membuatnya baik bagi ciptaan lain (pendidikan). 

Kehidupan dunia yang terus berkembang, menghadirkan perubahan sikap dan perilaku manusia. Penghargaan martabat manusia khususnya perempuan mengalami penurunan. Pria kurang menghargai wanita, wanita kurang menghargai pria tampak pada sikap saling menghina, pelecehan seksual, penindasan kaum lemah, pornografi, pelacuran khususnya dalam bentuk terorganisasi, diskriminasi di bidang pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Akibatnya, banyak keluarga yang tidak harmonis. Hal ini dapat memberi pengaruh yang sangat tidak baik sehingga artikel ini diharapkan dapat memberi insight bagi pembaca keluarga (FC, Art 24)..

Cinta kasih yang sejati antara suami dan istri menuntut sikap hormat yang mendalam dari suami terhadap istrinya berdasarkan kesamaan martabat. Cinta kasih suami terhadap istri dan cinta kasih bapa kepada ibu dari anak-anak, dan cinta kasih kepada anak-anak itu sendiri, bagi suami merupakan jalan yang biasa untuk memahami dan mengamalkan kebapaannya sendiri (FC, Art 25). Kesadaran manusia sebagai pria seringkali menjadi satu-satunya cara pandang ketika memasuki kehidupan berkeluarga. Tidak sedikit pria menyadari dengan lambat bahwa perannya telah bertambah, tidak hanya sebagai laki-laki saja, tapi juga sebagai seorang suami. Dan peran itu terus berkembang menjadi “ayah” ketika seorang manusia baru lahir sebagai buah cintanya bersama pasangannya. Tiga peran itu (insan, suami, bapa) mengingatkan akan martabat kesepadanan antara laki-laki dan perempuan. Perlu kesadaran penuh bahwa peran baru itu lahir akibat kerjasama yang setara antara dirinya dengan wanita pasangan hidupnya. Kesetaraan itu menunjukkan pula kesatuan antara pria dan wanita. Kesatuan itu tidak terpisahkan, bahkan oleh karena kehadiran buah hati yang dipercayakan Allah. Hal ini membuat tanggung jawab pendidikan anak melekat padanya. Tampaklah bahwa ayah dan ibu adalah orang yang paling utama dalam pendidikan anak dan masing-masing memegang kendali atas keharmonisan keluarga.

 

FC, Artikel 36

Orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pendidikan anak. Setidaknya ada tiga ciri mendasar kewajiban dan tanggung jawab  pendidikan anak. Pertama, hak dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak bersifat hakiki karena berkaitan dengan kehidupan manusiawi. Tanggung jawab dan kewajiban orang tua ini merupakan konsekuensi kodrati dan adikodrati dari kelahiran anak-anak dalam keluarga. Kedua, bersifat asali dan utama. Dasar paling utama dalam hak dan kewajiban orang tua ini adalah martabat kebapaan dan keibuan dan cinta kasih mereka. Maka orang tua menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak. Cinta kasih antar suami-isteri adalah sumber/pusat, jiwa dan norma pendidikan itu sendiri. Melalui dan dalam pendidikan, anak-anak dibantu untuk mengalami dan menghayati cinta kasih Allah dan dibimbing untuk menanggapinya. Ketiga, tugas dan kewajiban mendidik anak ini tak tergantikan dan tidak dapat diambil alih oleh orang lain. Peran orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak tidak bisa digantikan oleh kehadiran orang lain.

Keterlibatan orang lain dalam pendidikan anak tidak sama dengan peran orang tua yang sesungguhnya. Kehadiran dan keterlibatan pendidik lain, misalnya guru, katekis, dan sebagainya bersifat supporting bagi orang tua dalam rangka pendidikan anak-anak. Tugas mendidik secara mendasar berakar dalam panggilan utama suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan kehadiran buah cinta kasih, seorang pribadi baru, dirinya mengemban panggilan untuk bertumbuh dan berkembang. Orangtua bertanggung jawab dalam pendampingan secara terus menerus, efektif, dan menghayati hidup manusiawi yang sepenuhnya. 

  

FC, Artikel 37

Paus Yohanes Paulus II menaruh perhatian serius terkait pendidikan anak khususnya pendidikan nilai-nilai hakiki kehidupan manusia. Anak-anak hendaknya dididik untuk memiliki sikap bebas yang tepat terhadap barang-barang jasmani. Sikap bebas tepat itu ditunjukkan dengan menjalani gaya hidup sederhana. Tujuannya adalah anak-anak memiliki keyakinan bahwa manusia lebih berharga karena jati dirinya daripada karena apa yang dipunyainya.

 

 Tantangan-Tantangan Kehidupan Keluarga Dalam Menjalankan Nilai-Nilai Moral 

Dewasa ini, kehidupan megapolitan dengan berbagai tuntutannya dan perkembangan teknologi informasi menghadirkan tantangan yang tidak mudah bagi kehidupan pribadi-pribadi dalam keluarga baik sebagai pria dan wanita, sebagai suami dan isteri, maupun sebagai ayah dan ibu.


a.    Kehidupan Megapolitan

Di tengah masyarakat urban yang dinamis seperti Jakarta dan sekitarnya, beberapa faktor mempengaruhi citra diri dan relasi pria dan wanita dalma keluarga. Tidak dapat dipungkiri, tuntutan ekonomi menjadi prioritas utama bagi setiap individu yang tinggal di kota megapolitan. Upaya mencapai pemenuhan kebutuhan hidup terkesan memberi “label materialitis” pada penduduknya. Image ini berkembang dalam relasi pria dan wanita. Jika tidak mempunyai penghasilan besar akan dipandang sebelah mata oleh orang lain. Kesan ini kemudian seolah menjadi “syarat utama” dalam relasi pria dan wanita dalam keluarga. Kemudian, disadari atau tidak, gaya hidup di kota metropolitan berdampak pada relasi dan kepercayaan (trust) dalam keluarga. Jika salah satu pihak mulai berpenampilan berbeda, muncul rasa ragu dalam diri pasangan. Faktor lainnya, kesibukan dalam pekerjaan seringkali disalahgunakan oknum individu untuk bertindak tidak sewajarnya. Dukungan ekonomi dan penyalahgunaan waktu memicu lahirnya ketidaksetiaan dalam keluarga. Hal ini menjadi tantangan yang tidak mudah dalam relasi pria dan wanita dalam keluarga. Di sisi lain, muncul pertanyaan reflektif, apakah semua suami bisa mengendalikan keluarga? Apakah suami dan istri bisa mendidik anak dengan penuh iman dan cinta kasih dalam keluarga? apakah orang tua bisa menjadi contoh yang baik bagi masa depan anak-anak?

 

b.    Perkembangan Teknologi Informasi

Kemudahan  memperoleh informasi dengan cepat dan murah, membuat orang beradaptasi dengan cepat. Ragam Informasi baru dan menarik dari berbagai tempat menyajikan ragam budaya yang mempengaruhi perilaku dan kebiasaan manusia. Setiap perubahan yang terjadi direspon dengan cepat dan menghadirkan sebuah kebiasaan baru. Tidak jarang, kebiasaan baru ini muncul akibat meniru budaya baru yang justru berseberangan dengan iman Kristiani dan budaya ketimuran di Indonesia. Fashion, tutur kata, etika dan relasi mulai mengalami perubahan. Hal ini pun menjadi tantangan yang tidak mudah dalam relasi pria dan wanita dalam keluarga. 

Perlu disadari juga bahwa , suami dan isteri secara terpisah tidak dapat mendidik anak-anak. Suami dan istri sebagai orangtua hendaknya bekerjasama dengan intens.  Orangtua juga perlu membuka diri atas beberapa keterbatasan yang dimiliki sehingga membutuhkan pihak ketiga. Oleh sebab itu keluarga perlu terbuka untuk bekerja sama dengan para guru dan pengelola sekolah-sekolah. Demikian juga dengan hidup rohani, suami-isteri juga wajib mendidik anak-anak berdoa secara bertahap untuk membangun jalinan hati dengan Allah secara pribadi. Maka orang tua perlu memberikan teladan kepada anak-anak mereka. Dimasa pandemi ini banyak orang tua tidak memberikan sikap atau teladan yang tepat, misalnya anak dibiarkan sendiri saat sekolah online, kurangnya perhatian terhadap anak saat belajar online, orangtua lebih menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah. Mendidik anak tidak hanya dari pihak sekolah saja tetapi orangtua dan pihak sekolah miliki peran yang penting, tidak boleh berdiri disatu pihak saja.

Insight

Anak perlu memperoleh pendidikan secara menyeluruh tidak semata-mata pada pemenuhan pendidikan formal yang baik. Orang tua juga hendaknya mengajarkan pendidikan moral tentang etika, pendidikan sosial menyangkut kepekaan dan relasi sosial, dan pendidikan spiritual tentang refleksi dan sikap iman. Semoga hasil pendidikan yang menyeluruh itu  dapat terwujud secara nyata dalam perilaku hidup sehari-hari khususnya dalam keluarga. Amin.


Gambar: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3692160/beda-penampilan-karakter-pemain-keluarga-cemara-dulu-dan-kini 

Referensi:

KWI, 2019, Seri Dokumen Gereja Nomor 30: Familiaris Consortio, Dokpen KWI. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar